MEMAHAMI
STANDAR PELAYANAN MINIMAL
BIDANG PENDIDIKAN
Oleh :
Ridwan Tanjung *)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, pasal 18 ayat 5 menyatakan bahwa Pemerintahan daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan
sebagai urusan Pemerintahan Pusat. Ketentuan ini memberi penegasan bahwa Negara
RI menganut prinsip pembagian pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi,
yang dengan prinsip tersebut diakui
adanya pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan daerah otonom (Pemerintah
provinsi dan Pemerintah kabupaten/kota). Masih adanya urusan pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah, hal tersebut berkaitan dengan
penjaminan kelangsungan hidup bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai
implementasi ketentuan UUD 1945 tersebut diundangkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, yang antara lain mengatur mengenai pembagian urusan
pemerintahan. Ada 6 urusan yang tetap
menjadi urusan pemerintah atau tidak menjadi urusan wajib di daerah (provinsi, kabupaten/kota)
yaitu bidang (1) politik luar negeri, (2) pertahanan, (3) keamanan, (4) peradilan, (5) moneter dan
fiskal, dan (6) agama. Di luar keenam bidang ini, maka berbagai bidang layanan
masyarakat menjadi urusan wajib daerah. Pendidikan adalah salah satu bidang yang
menjadi urusan
wajib kabupaten/kota. Lebih lanjut pembagian kewenangan yang
menjadi urusan wajib pemerintah daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan
pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan,
kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan.
Sebelum
adanya PP No. 38 Tahun 2007 telah ditetapkan PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan
Penerapan Standar Pelayanan Minimal
(SPM), yang antara lain menyebutkan bahwa untuk menjalankan urusan wajib yang
didesentralisasikan, pemerintah kabupaten/kota mengacu pada SPM yang ditetapkan
Pemerintah. Berdasarkan PP No.
65 Tahun 2005 ini,
Pemerintah wajib menyusun SPM untuk urusan wajib pemerintahan
yang merupakan pelayanan dasar yang pelaksanaannya akan dilakukan secara
bertahap. SPM adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan
dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga negara
secara minimal.
Mengacu pada PP No. 65 Tahun 2005, maka jelaslah bahwa
SPM harus menjadi tolok ukur untuk menilai keberhasilan atau kegagalan
Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menjalankan tugas dan fungsinya, karena SPM telah ditetapkan sebagai standar,
ukuran bagi terpenuhi atau tidak terpenuhinya pemberian layanan dasar (minimal)
kepada masyarakat. Artinya kalau masyarakat sudah merasa terlayani hak-hak yang
harus diperolehnya, maka itu menunjukkan keberhasilan kinerja pemerintah
daerah.
SPM
Bidang Pendidikan
Berkaitan dengan upaya pemenuhan layanan dasar bidang
pendidikan, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 51
ayat 1 menyatakan bahwa pengelolaan pendidikan usia dini, pendidikan dasar dan
pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan Standar Pelayanan Minimal dengan prinsip manajemen berbasis
sekolah/madrasah (MBS). Salah satu
pertimbangan hukum diundangkannya UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 adalah
ketentuan pasal 28C UUD 1945 ayat 1
yang menyebutkan setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya
dan demi kesejahteraan umat manusia.
Dibandingkan dengan bidang-bidang lain yang menjadi
urusan wajib daerah, tampak bahwa UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 inilah yang
dengan tegas menyatakan bahwa pengelolaan pendidikan (persekolahan) didasarkan
kepada SPM dengan prinsip MBS. Lihat saja UU mengenai kehutanan, sosial,
koperasi, kesehatan tidak secara tegas menyatakan bahwa pengelolaan bidang-bidang
tersebut didasarkan kepada SPM.
Kalau PP No. 65 tahun 2005 dan PP No. 38 Tahun 2007 merupakan pelaksanaan dari UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka UU No. 20 Tahun 2003 yang lebih duluan
lahir dari UU No. 32 Tahun 2004, merupakan pelaksanaan UUD 1945 dan
memperhatikan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (sebelum diganti dengan UU No. 32/2004). Ini menunjukkan bahwa kebijakan SPM setidaknya
telah diperkenalkan
sejak
dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian ditindaklanjuti dengan PP No.
25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Provinsi
sebagai Daerah Otonom, yang di dalamnya mengatur antara lain mengenai
desentralisasi bidang pendidikan dan kebudayaan.
Bidang-bidang
yang menjadi urusan wajib berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 meliputi juga
bidang-bidang yang diatentukan dalam UU No. 22 Tahun 1999. Disebutkan dalam Pasal
11 ayat 4 UU No. 32 Tahun 2004 bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan
secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah.
Implementasi
SPM Bidang Pendidikan Dasar
Dalam
perjalanannya UU No. 22 Tahun 1999 diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang diikuti
dengan ditetapkannya PP
No. 65 Tahun 2005 dan PP No. 38 Tahun 2007. Di dalam pasal 11 ayat 2 UU
No. 22 tahun 1999 dinyatakan bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan
oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan,
pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan,
penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja. Sedangkan
di dalam pasal 14 UU No. 34 Tahun 2004 ditentukan ada 16 bidang pemerintahan
yang menjadi urusan wajib pemerintah kabupaten/kota. Dua bidang diantaranya
yang adalah (1) bidang perencanaan dan pengendalian, dan (2) bidang pendidikan. Mengapa dua bidang
ini menjadi perhatian karena perencanaan pembangunan akan menyangkut semua hal
yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan bidang pendidikan menjadi
topic yang ingin didalami.
Dilihat dari waktu diperkenalkannya SPM, maka bidang
pendidikan dapat dikatakan paling duluan mempunyai komitmen untuk menerapkan
SPM di dalam sistem layanan pendidikan. Setelah di atur dalam UU No. 20 Tahun
2003, maka pada tahun 2004 Departemen Pendidikan Nasional menerbitkan Keputusan
Mendiknas No. 129a/2004 tentang SPM Bidang Pendidikan yang mencakup semua
jenjang persekolahan (Dikdasmen dan PAUD). Substansi Keputusan ini meliputi
peserta didik, sarana prasarana, tenaga kependidikan. Secara rinci standar capaian
keberhasilan SPM jenjang SD ditetapkan sebagai berikut:
1.
95 persen anak dalam kelompok usia 7-12
tahun bersekolah di SD/MI.
2.
Angka Putus Sekolah (APS) tidak melebihi 1
persen dari jumlah siswa yang bersekolah.
3.
90 persen sekolah memiliki sarana dan
prasarana minimal sesuai dengan standar teknis yang ditetapkan secara nasional.
4.
90 persen dari jumlah guru SD yang
diperlukan terpenuhi.
5.
90 persen guru SD/MI memiliki kualifikasi
sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan secara nasional .
6.
95 persen siswa memiliki buku pelajaran
yang lengkap setiap mata pelajaran.
7.
Jumlah siswa SD/MI per kelas antara 30 -
40 siswa.
8.
90 persen dari siswa yang mengikuti uji
sampel mutu pendidikan standar nasional mencapai nilai “memuaskan” dalam mata pelajaran
membaca, menulis dan berhitung untuk kelas III dan mata pelajaran bahasa,
matematika, IPA dan IPS untuk kelas V.
9.
95 persen dari lulusan SD melanjutkan ke
SMP/Madrasah Tsanawiyah (MTs).
SPM untuk
jenjang SMP/MTs adalah:
1.
90 persen anak dalam kelompok usia 13 -15 tahun
bersekolah di SMP/MTs.
2.
Angka Putus Sekolah (APS) tidak melebihi 1 persen dari
jumlah siswa yang ber-sekolah.
3.
90 persen sekolah memiliki sarana dan prasarana
minimal sesuai dengan standar teknis yang di-tetapkan secara nasional.
4.
80 persen sekolah memiliki tenaga kependidikan non
guru untuk melaksanakan tugas administrasi dan kegiatan non mengajar lainnya.
5.
90 persen dari jumlah guru SMP yang diperlukan
terpenuhi.
6.
90 persen guru SMP/MTs memiliki kualifikasi, sesuai
dengan kompetensi yang ditetapkan secara nasional.
7.
100 persen siswa memiliki buku pelajaran yang lengkap
setiap mata pelajaran.
8.
Jumlah siswa SMP/MTs per kelas antara 30 – 40 siswa.
9.
90 persen dari siswa yang mengikuti uji sampel mutu
pendidikan standar nasional mencapai nilai “memuaskan” dalam mata pelajaran
Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA, dan IPS di kelas I dan II.
10. 70 persen
dari lulusan SMP/ MTs melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA)/ Madrasah
Aliyah (MA)/ Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Sampai saat ini UU
No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
sudah berusia10 tahun. Ini artinya perintah untuk menjadikan SPM sebagai acuan
dalam pengelolaan satuan pendidikan sudah berumur 10 tahun pula. Seharusnya
perencanaan dan pengelolaan pendidikan sudah mengacu kepada SPM tersebut. Namun
tidak ada suatu dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan sebagai hasil evaluasi dari penerapan SPM bidang pendidikan sejak
dikeluarkannya Keputusan Mendiknas No.
129a/2004 tentang SPM Bidang Pendidikan, sehingga tidak diketahui hasil
yang telah dicapai dari pelaksanaan SPM tersebut. Ada dua kemungkinan yaitu,
(1) tidak dilakukan evaluasi; (2) sudah dilakukan evaluasi tetapi dipandang
tidak begitu penting untuk dipublikasikan/didokumentasikan. Kemungkinan mana
pun yang terjadi kedua-duanya sama saja dengan memandang penting kehadiran
Keputusan Mendiknas No. 129a/2004 tersebut. Kelemahan dari Permendiknas No.
129a/2004 juga terletak dari tidak ada ketentuan yang membatasi sampai tahun
berapa standar itu harus dicapai. Lebih lanjut ini menunjukkan bahwa SPM
belumlah menjadi acuan untuk perencanaan dan pengelolaan pendidikan.
Kini setelah
adanya PP No. 65 Tahun 2005 yang memberikan pedoman penyusunan SPM berbagai
bidang untuk pelayanan dasar tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 15 Tahun 2010 yang
kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 23 Tahun
2013. Kedua Peraturan Menteri ini secara substansi relatif tidak berbeda,
sehingga peraturan yang mana pun dapat saja digunakan sebagai dasar perencanaan
pendidikan. Secara umum SPM pendidikan dasar memuat ketentuan mengenai sarana
prasarana, ketenagaan, kurikulum, penjaminan mutu pendidikan, dan perencanaan
pendidikan. Ada 27 indikator yang harus dicapai dalam rangka pemenuhan layanan
dasar bidang pendidikan dasar yang meliputi (1) sebanyak 14 indikator yang
menjadi tanggung-jawab langsung
Pemerintah Kabupaten/Kota yang menjadi tugas pokok dan fungsi dinas pendidikan
untuk sekolah atau Kantor Kementerian Agama untuk madrasah; dan (2) 13
indikator yang menjadi tanggung-jawab
tidak langsung Pemerintah Kabupaten/Kota c/q Dinas Pendidikan dan
Kantor Kementerian Agama, karena layanan diberikan oleh pihak sekolah dan
madrasah, para guru dan tenaga kependidikan, dengan dukungan yang diberikan
oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan Kantor Kementerian Agama. Di Petunjuk Teknis SPM yang merupakan lampiran dari
Permendikbud No. 23 Tahun 2013 dirinci apa saja yang menjadi tanggungjawab Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menyelenggarakan
layanan pendidikan dan berbagai hal yang harus disediakan dan dilakukan oleh
dinas pendidikan, sekolah/madrasah guna memastikan bahwa layanan pendidikan bisa
berjalan dengan baik. Dari aspek sarana prasarana ditentukan, misalnya pada indikator ke tiga; di setiap SMP dan
MTs tersedia ruang laboratorium IPA yang dilengkapi dengan meja dan kursi yang
cukup untuk 36 peserta didik dan minimal satu set peralatan praktek IPA untuk
demonstrasi dan eksperimen peserta didik, Dari aspek ketenagaan misalnya, indikator kelima; di setiap SD/MI
tersedia 1 (satu) orang guru untuk setiap 32 peserta didik dan 6 (enam) orang
guru untuk setiap satuan pendidikan, dan untuk daerah khusus 4 (empat) orang
guru setiap satuan pendidikan, indikator
keenam; di setiap SMP/MTs tersedia 1 (satu) orang guru untuk setiap mata
pelajaran, dan untuk daerah khusus tersedia satu orang guru untuk setiap rumpun
mata pelajaran, indikator ketujuh;
di setiap SD/MI tersedia 2 (dua) orang guru yang memenuhi kualifikasi akademik
S1 atau D-IV dan 2 (dua) orang guru yang telah memiliki sertifikat pendidik. Dari
aspek perecanaan, indikator ke tiga
belas; pemerintah kabupaten/kota memiliki rencana dan melaksanakan kegiatan
untuk membantu satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum dan proses
pembelajaran yang efektif. Ini semua
menjadi tanggung jawab langsung Pemerintah Kabupaten/Kota.
Indikator-indikator
yang menjadi tanggung jawab tidak langsung atau dapat dilakukan melalui sekolah.
Dari aspek sarana/peralatan pendidikan misalnya indikator kesatu; setiap SD/MI menyediakan buku teks yang sudah
ditetapkan kelayakannya oleh Pemerintah mencakup mata pelajaran Bahasa
Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan Pendidikan Kewarganegaraan, dengan
perbandingan satu set untuk setiap peserta didik, indikator kedua; setiap SMP/MTs menyediakan buku teks yang sudah
ditetapkan kelayakannya oleh Pemerintah mencakup semua mata pelajaran dengan
perbandingan satu set untuk setiap perserta didik, indikator kelima. Dari aspek waktu mengajar; setiap guru tetap
bekerja 37,5 jam per minggu di satuan pendidikan, termasuk merencanakan
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing
atau melatih peserta didik, dan melaksanakan tugas tambahan. Dari aspek
pengelolaan, Indikator ke tiga belas;
setiap satuan pendidikan menerapkan prinsip-prinsip manajemen berbasis sekolah
(MBS). Ini dapat dilakukan dan memang secara langsung ada pada diri sekolah (kepala
sekolah dan guru).
Dalam rangka percepatan
implementasi SPM di kabupaten/kota, Kementerian Dalam Negeri telah menerbitkan
Surat Edaran (SE) No. 100/676/SJ/2010 tentang Percepatan Pelaksanaan SPM. SE yang ditujukan kepada semua Gubernur, DPRD
Provinsi, semua Bupati/Walikota, DPRD Kab/kota ini menegaskan bahwa pencapaian
SPM harus tercermin dalam perangkat perencanaan daerah, RPMJD, Restra.
Barangkali perlu dicermati apakah
ketika Musrengbangda yang kemudian dibawa ke Musrengbangnas Pemerintah Daerah
sudah menyusun perencanaan daerah dengan mengacu kepada SPM. Dari sinilah kita
bisa menyatakan bahwa sesuatu daerah telah atau belum memiliki komitmen untuk
menerapkan standar yang telah ditentukan dalam menyusun perencanaan pembangunan
di daerah, yang lebih lanjut akan teruji komitmennya untuk memberikan pelayanan
yang terukur bagi masyarakatnya. Khusus untuk bidang pendidikan perlu
dilakukan
pemetaan terhadap kinerja layanan Dinas
Pendidikan/Kantor Kemenag
serta sekolah-sekolah (SD/MI dan SMP/MTs). Dari pemetaan tersebut akan dapat diketahui kinerja
mana yang belum mencapai SPM dan kinerja mana yang sudah mencapai SPM. Kemudian
berdasarkan data yang telah dikumpulkan, Dinas
Pendidikan
Kabupaten/Kota dan Kantor
Kemenag perlu menganalisis pencapaian masing-masing indikator
yang tercantum dalam SPM bidang pendidikan.
*) Penulis:
Perekayasa Madya pada Sekretariat Ditjen Pendidikan Dasar
KEMDIKBUD