Selasa, 27 Agustus 2013

SPM Pendidikan Dasar

MEMAHAMI STANDAR PELAYANAN MINIMAL
BIDANG PENDIDIKAN

Oleh : Ridwan Tanjung *)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 18 ayat 5 menyatakan bahwa Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat. Ketentuan ini memberi penegasan bahwa Negara RI menganut prinsip pembagian pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi, yang  dengan prinsip tersebut diakui adanya pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan daerah otonom (Pemerintah provinsi dan Pemerintah kabupaten/kota). Masih adanya urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah, hal tersebut berkaitan dengan penjaminan kelangsungan hidup bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.  

Sebagai implementasi ketentuan UUD 1945 tersebut diundangkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang antara lain mengatur mengenai pembagian urusan pemerintahan.  Ada 6 urusan yang tetap menjadi urusan pemerintah atau tidak menjadi urusan wajib di daerah (provinsi, kabupaten/kota) yaitu bidang (1) politik luar negeri, (2) pertahanan,  (3) keamanan, (4) peradilan, (5) moneter dan fiskal, dan (6) agama. Di luar keenam bidang ini, maka berbagai bidang layanan masyarakat menjadi urusan wajib daerah. Pendidikan adalah salah satu bidang yang menjadi urusan wajib kabupaten/kota. Lebih lanjut  pembagian kewenangan yang menjadi urusan wajib pemerintah daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/KotaUrusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan.

Sebelum adanya PP No. 38 Tahun 2007 telah ditetapkan PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM), yang antara lain menyebutkan bahwa untuk menjalankan urusan wajib yang didesentralisasikan, pemerintah kabupaten/kota mengacu pada SPM yang ditetapkan Pemerintah. Berdasarkan PP No. 65 Tahun 2005 ini, Pemerintah wajib menyusun SPM untuk urusan wajib pemerintahan yang merupakan pelayanan dasar yang pelaksanaannya akan dilakukan secara bertahap. SPM adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal.

Mengacu pada PP No. 65 Tahun 2005, maka jelaslah bahwa SPM harus menjadi tolok ukur untuk menilai keberhasilan atau kegagalan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menjalankan tugas dan fungsinya,  karena SPM telah ditetapkan sebagai standar, ukuran bagi terpenuhi atau tidak terpenuhinya pemberian layanan dasar (minimal) kepada masyarakat. Artinya kalau masyarakat sudah merasa terlayani hak-hak yang harus diperolehnya, maka itu menunjukkan keberhasilan kinerja pemerintah daerah.   

SPM Bidang Pendidikan

Berkaitan dengan upaya pemenuhan layanan dasar bidang pendidikan, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 51 ayat 1 menyatakan bahwa pengelolaan pendidikan usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan Standar Pelayanan Minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah (MBS).  Salah satu pertimbangan hukum diundangkannya UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 adalah ketentuan pasal 28C UUD 1945 ayat 1 yang menyebutkan setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.  

Dibandingkan dengan bidang-bidang lain yang menjadi urusan wajib daerah, tampak bahwa UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 inilah yang dengan tegas menyatakan bahwa pengelolaan pendidikan (persekolahan) didasarkan kepada SPM dengan prinsip MBS. Lihat saja UU mengenai kehutanan, sosial, koperasi, kesehatan tidak secara tegas menyatakan bahwa pengelolaan bidang-bidang tersebut didasarkan kepada SPM.

Kalau PP No. 65 tahun 2005 dan PP  No. 38 Tahun 2007 merupakan pelaksanaan dari UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,  maka UU No. 20 Tahun 2003 yang lebih duluan lahir dari UU No. 32 Tahun 2004, merupakan pelaksanaan UUD 1945 dan memperhatikan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (sebelum diganti dengan UU No. 32/2004).  Ini menunjukkan bahwa kebijakan SPM setidaknya telah diperkenalkan sejak dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian ditindaklanjuti dengan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Provinsi sebagai Daerah Otonom, yang di dalamnya mengatur antara lain mengenai desentralisasi bidang pendidikan dan kebudayaan.

Bidang-bidang yang menjadi urusan wajib berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 meliputi juga bidang-bidang yang diatentukan dalam UU No. 22 Tahun 1999. Disebutkan dalam Pasal 11 ayat 4 UU No. 32 Tahun 2004 bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah.

Implementasi SPM Bidang Pendidikan Dasar

Dalam perjalanannya UU No. 22 Tahun 1999 diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang diikuti dengan ditetapkannya PP No. 65 Tahun 2005 dan PP No. 38 Tahun 2007. Di dalam pasal 11 ayat 2 UU No. 22 tahun 1999 dinyatakan  bahwa  bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja. Sedangkan di dalam pasal 14 UU No. 34 Tahun 2004 ditentukan ada 16 bidang pemerintahan yang menjadi urusan wajib pemerintah kabupaten/kota. Dua bidang diantaranya yang adalah (1) bidang perencanaan dan pengendalian,  dan (2) bidang pendidikan. Mengapa dua bidang ini menjadi perhatian karena perencanaan pembangunan akan menyangkut semua hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan bidang pendidikan menjadi topic yang ingin didalami.

Dilihat dari waktu diperkenalkannya SPM, maka bidang pendidikan dapat dikatakan paling duluan mempunyai komitmen untuk menerapkan SPM di dalam sistem layanan pendidikan. Setelah di atur dalam UU No. 20 Tahun 2003, maka pada tahun 2004 Departemen Pendidikan Nasional menerbitkan Keputusan Mendiknas No. 129a/2004 tentang SPM Bidang Pendidikan yang mencakup semua jenjang persekolahan (Dikdasmen dan PAUD). Substansi Keputusan ini meliputi peserta didik, sarana prasarana, tenaga kependidikan. Secara rinci standar capaian keberhasilan SPM jenjang SD ditetapkan sebagai berikut:

1.      95 persen anak dalam kelompok usia 7-12 tahun bersekolah di SD/MI.
2.      Angka Putus Sekolah (APS) tidak melebihi 1 persen dari jumlah siswa yang bersekolah.
3.      90 persen sekolah memiliki sarana dan prasarana minimal sesuai dengan standar teknis yang ditetapkan secara nasional.
4.      90 persen dari jumlah guru SD yang diperlukan terpenuhi.
5.      90 persen guru SD/MI memiliki kualifikasi sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan secara nasional .
6.      95 persen siswa memiliki buku pelajaran yang lengkap setiap mata pelajaran.
7.      Jumlah siswa SD/MI per kelas antara 30 - 40 siswa.
8.      90 persen dari siswa yang mengikuti uji sampel mutu pendidikan standar nasional mencapai nilai “memuaskan” dalam mata pelajaran membaca, menulis dan berhitung untuk kelas III dan mata pelajaran bahasa, matematika, IPA dan IPS untuk kelas V.
9.      95 persen dari lulusan SD melanjutkan ke SMP/Madrasah Tsanawiyah (MTs).

SPM untuk jenjang SMP/MTs adalah:

1.      90 persen anak dalam kelompok usia 13 -15 tahun bersekolah di SMP/MTs.
2.      Angka Putus Sekolah (APS) tidak melebihi 1 persen dari jumlah siswa yang ber-sekolah.
3.      90 persen sekolah memiliki sarana dan prasarana minimal sesuai dengan standar teknis yang di-tetapkan secara nasional.
4.      80 persen sekolah memiliki tenaga kependidikan non guru untuk melaksanakan tugas administrasi dan kegiatan non mengajar lainnya.
5.      90 persen dari jumlah guru SMP yang diperlukan terpenuhi.
6.      90 persen guru SMP/MTs memiliki kualifikasi, sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan secara nasional.
7.      100 persen siswa memiliki buku pelajaran yang lengkap setiap mata pelajaran.
8.      Jumlah siswa SMP/MTs per kelas antara 30 – 40 siswa.
9.      90 persen dari siswa yang mengikuti uji sampel mutu pendidikan standar nasional mencapai nilai “memuaskan” dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA, dan IPS di kelas I dan II.
10.  70 persen dari lulusan SMP/ MTs melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA)/ Madrasah Aliyah (MA)/ Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Sampai saat ini UU  No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas sudah berusia10 tahun. Ini artinya perintah untuk menjadikan SPM sebagai acuan dalam pengelolaan satuan pendidikan sudah berumur 10 tahun pula. Seharusnya perencanaan dan pengelolaan pendidikan sudah mengacu kepada SPM tersebut. Namun tidak ada suatu dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai hasil evaluasi dari penerapan SPM bidang pendidikan sejak dikeluarkannya Keputusan Mendiknas No.  129a/2004 tentang SPM Bidang Pendidikan, sehingga tidak diketahui hasil yang telah dicapai dari pelaksanaan SPM tersebut. Ada dua kemungkinan yaitu, (1) tidak dilakukan evaluasi; (2) sudah dilakukan evaluasi tetapi dipandang tidak begitu penting untuk dipublikasikan/didokumentasikan. Kemungkinan mana pun yang terjadi kedua-duanya sama saja dengan memandang penting kehadiran Keputusan Mendiknas No. 129a/2004 tersebut. Kelemahan dari Permendiknas No. 129a/2004 juga terletak dari tidak ada ketentuan yang membatasi sampai tahun berapa standar itu harus dicapai. Lebih lanjut ini menunjukkan bahwa SPM belumlah menjadi acuan untuk perencanaan dan pengelolaan pendidikan.

Kini setelah adanya PP No. 65 Tahun 2005 yang memberikan pedoman penyusunan SPM berbagai bidang untuk pelayanan dasar tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 15 Tahun 2010 yang kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 23 Tahun 2013. Kedua Peraturan Menteri ini secara substansi relatif tidak berbeda, sehingga peraturan yang mana pun dapat saja digunakan sebagai dasar perencanaan pendidikan. Secara umum SPM pendidikan dasar memuat ketentuan mengenai sarana prasarana, ketenagaan, kurikulum, penjaminan mutu pendidikan, dan perencanaan pendidikan. Ada 27 indikator yang harus dicapai dalam rangka pemenuhan layanan dasar bidang pendidikan dasar yang meliputi (1) sebanyak 14 indikator yang menjadi tanggung-jawab langsung Pemerintah Kabupaten/Kota yang menjadi tugas pokok dan fungsi dinas pendidikan untuk sekolah atau Kantor Kementerian Agama untuk madrasah; dan (2) 13 indikator yang menjadi tanggung-jawab tidak langsung Pemerintah Kabupaten/Kota c/q Dinas Pendidikan dan Kantor Kementerian Agama, karena layanan diberikan oleh pihak sekolah dan madrasah, para guru dan tenaga kependidikan, dengan dukungan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan Kantor Kementerian Agama. Di Petunjuk Teknis SPM yang merupakan lampiran dari Permendikbud No. 23 Tahun 2013 dirinci apa saja yang menjadi  tanggungjawab Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menyelenggarakan layanan pendidikan dan berbagai hal yang harus disediakan dan dilakukan oleh dinas pendidikan, sekolah/madrasah guna memastikan bahwa layanan pendidikan bisa berjalan dengan baik. Dari aspek sarana prasarana ditentukan, misalnya pada indikator ke tiga; di setiap SMP dan MTs tersedia ruang laboratorium IPA yang dilengkapi dengan meja dan kursi yang cukup untuk 36 peserta didik dan minimal satu set peralatan praktek IPA untuk demonstrasi dan eksperimen peserta didik, Dari aspek ketenagaan misalnya, indikator kelima; di setiap SD/MI tersedia 1 (satu) orang guru untuk setiap 32 peserta didik dan 6 (enam) orang guru untuk setiap satuan pendidikan, dan untuk daerah khusus 4 (empat) orang guru setiap satuan pendidikan, indikator keenam; di setiap SMP/MTs tersedia 1 (satu) orang guru untuk setiap mata pelajaran, dan untuk daerah khusus tersedia satu orang guru untuk setiap rumpun mata pelajaran, indikator ketujuh; di setiap SD/MI tersedia 2 (dua) orang guru yang memenuhi kualifikasi akademik S1 atau D-IV dan 2 (dua) orang guru yang telah memiliki sertifikat pendidik. Dari aspek perecanaan, indikator ke tiga belas; pemerintah kabupaten/kota memiliki rencana dan melaksanakan kegiatan untuk membantu satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum dan proses pembelajaran yang efektif.  Ini semua menjadi tanggung jawab langsung Pemerintah Kabupaten/Kota.

Indikator-indikator yang menjadi tanggung jawab tidak langsung atau dapat dilakukan melalui sekolah. Dari aspek sarana/peralatan pendidikan misalnya indikator kesatu; setiap SD/MI menyediakan buku teks yang sudah ditetapkan kelayakannya oleh Pemerintah mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan Pendidikan Kewarganegaraan, dengan perbandingan satu set untuk setiap peserta didik, indikator kedua; setiap SMP/MTs menyediakan buku teks yang sudah ditetapkan kelayakannya oleh Pemerintah mencakup semua mata pelajaran dengan perbandingan satu set untuk setiap perserta didik, indikator kelima. Dari aspek waktu mengajar; setiap guru tetap bekerja 37,5 jam per minggu di satuan pendidikan, termasuk merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing atau melatih peserta didik, dan melaksanakan tugas tambahan. Dari aspek pengelolaan, Indikator ke tiga belas; setiap satuan pendidikan menerapkan prinsip-prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS). Ini dapat dilakukan dan memang secara langsung ada pada diri sekolah (kepala sekolah dan guru).

Dalam rangka percepatan implementasi SPM di kabupaten/kota, Kementerian Dalam Negeri telah menerbitkan Surat Edaran (SE) No. 100/676/SJ/2010 tentang Percepatan Pelaksanaan SPM. SE  yang ditujukan kepada semua Gubernur, DPRD Provinsi, semua Bupati/Walikota, DPRD Kab/kota ini menegaskan bahwa pencapaian SPM harus tercermin dalam perangkat perencanaan daerah, RPMJD, Restra. 

Barangkali perlu dicermati apakah ketika Musrengbangda yang kemudian dibawa ke Musrengbangnas Pemerintah Daerah sudah menyusun perencanaan daerah dengan mengacu kepada SPM. Dari sinilah kita bisa menyatakan bahwa sesuatu daerah telah atau belum memiliki komitmen untuk menerapkan standar yang telah ditentukan dalam menyusun perencanaan pembangunan di daerah, yang lebih lanjut akan teruji komitmennya untuk memberikan pelayanan yang terukur bagi masyarakatnya. Khusus untuk bidang pendidikan perlu dilakukan pemetaan terhadap kinerja layanan Dinas Pendidikan/Kantor Kemenag serta sekolah-sekolah (SD/MI dan SMP/MTs). Dari pemetaan tersebut akan dapat diketahui kinerja mana yang belum mencapai SPM dan kinerja mana yang sudah mencapai SPM. Kemudian berdasarkan data yang telah dikumpulkan, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Kantor Kemenag perlu menganalisis pencapaian masing-masing indikator yang tercantum dalam SPM bidang pendidikan.
                                   
*)  Penulis:
Perekayasa Madya pada Sekretariat Ditjen Pendidikan Dasar

KEMDIKBUD