Jakarta, 27 Shafar 1434/8 Januari 2013
(MINA) –Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi menegaskan bahwa
tidak pernah ada larangan bagi Pemerintah Daerah (Pemda) untuk memberikan
bantuan kepada madrasah melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD).
Mendagri menjawab polemik yang kurang pas itu
seperti pernah disampaikan dalam Surat Edaran (SE) Mendagri 903/5361/SJ
tertanggal 28 Desember 2012 lalu, tentang Bantuan APBD kepada Madrasah, tidak
ada satu kata pun terkait pelarangan.
“Tidak pernah ada larangan sekolah
dapat anggaran. Tidak hanya madrasah, bantuan Pemda boleh untuk lembaga
pendidikan lainnya,” ujar Mendagri Gamawan Fauzi, dalam pernyataan Sekretariat
Kabinet RI, kemarin.
Merujuk pada UU Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, lanjut
Mendagri, pembiayaan pendidikan tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat,
pemerintah daerah dan masyarakat.
Karena itu, madrasah sebagai lembaga pendidikan, pada
prinsipnya dapat memperoleh bantuan pendanaan dari Pemda, termasuk yang
bersumber dari APBD, katanya.
Menurut Mendagri, Surat Edaran Nomor 39 tahun 2012 yang
dipermasalahkan tentang Perubahan atas Peraturan Mendagri Nomor 32 tahun 2011
tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari APBD.
Permendagri Nomor 39 Tahun 2012 merupakan revisi atas
Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan
Sosial dari APBD, sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengatur penggunaan dana
APBD untuk membantu madrasah.
“Tidak ada aturan dalam bentuk Permendagri yang melarang
bantuan untuk madrasah. Permendagri itu sama sekali tidak melarang pemberian
hibah untuk madrasah," kata Gamawan.
Mendagri Gamawan menjelaskan Permendagri Nomor 39 Tahun
2012 hanya mengatur kriteria pemberian hibah yang sifatnya tidak wajib, tidak
mengikat, serta tidak terus-terusan diberikan setiap tahun anggaran.
"Justru Pemda dapat mendanai kegiatan proses belajar
mengajar pada sekolah-sekolah yang dikelola masyarakat. Termasuk yang berbasis
keagamaan seperti Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD), Madrasah Tsanawiyah (SMP)
dan Madrasah Aliyah (SMA). Jadi tidak ada edaran yang melarang hibah untuk
madrasah," tegasnya.
Sebelumnya memang sempat beredar berita beberapa pihak
mengeluhkan kebijakan Mendagri yang melarang alokasi APBD untuk membantu
madrasah. Sejumlah daerah yang tengah menyusun RAPBD 2013, mengeluhkan
kebijakan Mendagri yang disebut dalam bentuk Surat Edaran itu.
Tidak Tumpang Tindih
Direktur Pondok Pesantren Depag RI, Ace Saefuddin
mengatakan, sampai saat ini tak ada bentuk larangan Pemerintah Daerah membantu
dana untuk madrasah di seluruh Indonesia, termasuk Menteri Dalam Negeri melalui
surat edarannya.
“Setelah diteliti, tidak ada aturannya. Bahkan surat
edaran dari Mendagri pun tidak ditemukan,” kata Ace Saefuddin di Serang,
Banteng, Senin (7/1).
Ia menjelaskan, Permendagri Nomor 39 tahun 2012 tentang pemberian hibah dan
bantuan sosial yang bersumber dari APBD, dan ditanda tangani Mendagri Gumawan
Fauzi tanggal 21 Mei 2012 tak menyebut tentang larangan itu. Yang ada adalah
pengaturan tentang bantuan dari APBD agar tidak tumpang tindih.
“Jadi, dengan demikian tak ada larangan bantuan bagi Pemda
untuk membantu setiap madrasah di daerahnya masing-masing,” tandasnya.
Ia menambahkan, bahkan Pemda Jatim, Jabar, dan Banten
sudah bersepakat akan mengeluarkan regulasi untuk memberikan bantuan kepada
madrasah. Madrasah adalah salah satu institusi pendidikan yang didirikan
masyarakat atau swasta. Kebanyakan ditangani para kyai.
Sebelumya, Menteri Agama Suryadharma Ali pada Hari Amal
Bakti (HAB) Kementerian Agama ke-67 di Padang, Ahad (6/1) mengimbau seluruh
Pemda untuk bekerjasama meningkatkan program pendidikan keagamaan, termasuk memberikan
dana dari APBD. Dengan demikian tidak ada diskriminasi bagi lembaga pendidikan
agama seperti madrasah. (T/R-015/R-005)
Sepanjang sejarah organisasi Al Washliyah, dari zaman pra
kemerdekaan, awal kemerdekaan, dan masa merdeka, pengurus dan anggota-anggota
Al Washliyah telah terlibat dalam kehidupan berpolitik, baik itu sebagai
anggota maupun simpatisan partai. Pada pra kemerdekaan, tahun 1937 ketika berdiri
Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) di Surabaya, diprakarsai oleh Hasbullah
Wahab (NU), Mas Mansur (Muhammadiyah) Ahmad Dahlandan Wondoamiseno, yang merupakan federasi
ormas-ormas Islam untuk membuka ruang yang lebih terbuka dalam memperhatikan
dan melayani urusan sosial umat Islam, dan sesungguhnya juga bidang politik. Al
Washliyah menjadi salah satu organisasi yang mendukung MIAI. Generasi pertama
pengurus Al Washliyah seperti H. Abdul Rahman Syihab, H. Arsyad Thalib Lubis,
adalah tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan yang tidak saja sebagai ulama tetapi
juga menjadi tokoh politik.Tak bisa
dipungkiri karena keulamaannya dan kemampuan berpolitiknyalah Abdul Rahman
Syihab dipilih menjadi ketua komisi untuk penyebaran Islam pada kongres MIAI
tahun 1941 di Solo.Salah satu butir
putusan MIAI pada kongresnya itu adalah menugaskan kepada Al Washliyah
supayamengusahakan berdirinya central
zending Islam di Indonesia, dengan menyampaikan hasil-hasilnya kepada dewan
MIAI. Putusan lain dari MIAI yang menampakkan perannya dalam bidang politik
adalah menuntut pembebasan Haji Rasul (ayah Hamka) dari penahanan Belanda,
penolakan terhadap wajib militer atau milisi, menuntut Indonesia berparlemen,
dan lain sebagainya. MIAI akhirnya dibubarkan oleh penjajah Jepang , karena
dianggap tidak mendukung pemerintahannya (Deliar
Noer, Gerakan Modern Islam di
Indonesia 1900-1942, LP3ES, 1990)
Pada awal kemerdekaan, November 1945 berdiri Partai Masyumi. Al
Washliyah secara organisasi bersama banyak organisasi Islam lainnya seperti
Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU), PSII, Persis menjadi pendukung (anderbouw)
dari partai yang dianggap sebagai penerus dari MIAI. Pada saat itu Masyumi
mengambil posisi sebagai satu-satunya partai Islam, karena memang didukung oleh
banyak organisasi dan bahkan partai Islam yang sebelumnya ada, seperti PSII.
Namun ini tidak berlangsung lama karena PSII dan NU menarik diri dari Masyumi
dan menjadi partai sendiri. Suatu hal yang perlu dicatat bahwa ketika
mengetahuiNU menarik diri dari Masyumi,
Al Washliyah menunjukkan sikap keprihatinan dengan mengirimkan surat kawat
kepada panitia kongres NU di Palembang agar tidak menarik diri dulu dan
membicarakan hal itu dalam muktamar Masyumi dan mengutus Abdul Rahman Syihab
menemui DPP Masyumi di Jakarta. Partai Masyumipun akhirnya dibubarkan oleh Bung
Karno
Sejak awal kemerdekaan sampai dibubarkannya, dapat dikatakan Masyumi
menjadi partainya Al Washliyah. Setiap kepala orang Al Washliyah seolah
”berstempel” Masyumi. Keterikatan yang erat antara Al Washliyah dengan Masyumi
menjadi lebih kentara ketika menghadapi pemilu 1955. PB. Al Washliyah mengeluarkan fatwa agar semua
anggota Al Washliyah memilih Partai masyumi. Fatwa ini tidak pernah mendapatkan
tantangan, berjalan tanpa protes. Suatu situasi yang menggambarkan betapa
solidnya kebersamaan di tubuh Al Washliyah.
Kalau Masyumi penerus MIAI, maka setelah Masyumi bubar, boleh
dikatakan partai Islam ini dilanjutkan oleh Partai Musliman Indonesia
(Parmusi). Logika ini cukup beralasan, karena bila ditelusuri MIAI adalah
federasi dari berbagai organisasi Islam, sama halnya dengan Masyumi. Demikian
pula ketika pembentukan awal Parmusi, nuansa ke-Masyumi-an terlihat begitu
kental. Andaikata saja Soeharto melalui Alamsyah Ratuperwira Negara tidak
mengintervensi, maka Muh. Roem tokoh Masyumi akan terpilih sebagai ketua umum
pertama Parmusi. Nasib Parmusi sebagai partai politik juga sama dengan
partai-partai Islam sebelumnya, karena harus dimerger (fusi) bersama-sama
dengan Perti, PSII ke dalam PPP melalui tangan Pemerintah Orde Baru.
Paling menarik adalah AlWashliyah tetap menjadi peturut setia dari ”reinkarnasi” partai-partai
Islam, karena Washliyah pun berafiliasi kepada Parmusi. Jaelani Naro yang
tiba-tiba di-”Washliyahkan” muncul menjadi ketua umum Parmusi melalui ”kudeta”
pada tahun 1970.Suatu akrobatik
politik yang sesungguhnya tak begitu menggembirakan bagi sebagian besar
kalangan Al Washliyah, karena Jaelani Naro tak punya riwayat organisatoris di
Al Washliyah dan terkesan dipaksakan untuk menjadi orang washliyah. Ini perlu
menjadi cacatan sejarah bagi gerak dinamika politik Al Washliyah, karena di
tengah ketidaksimpatikan sebagian besar kalangan Al Washliyah terhadap
akrobatik politik yang dilakukan Naro, justru ini sedikit banyak memberikan
stimulus bagi Pengurus PP. GPA untuk berkiprah ke Jakarta, yang sebelumnya
berdomisili di Medan. Keberhasilan A. Muis A.Y (almarhum), Ketua PP. GPA
menjadi anggota DPR-RI pada Pemilu 1982, saya kira merupakan dampak dari
di-Washliyah-kannya Naro, karena Naro dalam waktu singkat punya kekuasaan yang
tinggi di PPP untuk menempatkan siapa saja yang dia inginkan menjadi anggota
DPR-RI terutama dari unsur Parmusi.
Secara historis sejak pra kemerdekaan hingga Orde Baru partisipasi
politik Al Washliyah tampak berjalan linear, berkutit dalam partai-partai Islam
(MIAI, Masyumi, Parmusi). Adanya partisipasi di luar itu, seperti adanya
pengurus dan anggota Al Washliyah yang masuk menjadi anggota Golkar atau PDI
dipandang sebagai sebuah pengingkaran terhadap mainstreams Al Washliyah. Fathi
Dahlan, dari unsur PB. Al Washliyah waktu itu, dianggap keluar mainstream itu,
karena dia menjadi anggota legislatif dari Golkar. Pengingkaran yang paling
tragis adalah ketika muncul organisasi yang bernama ”Al Washliyah 30” yang
ingin membawa Al Washliyah ke Gerbong Golkar. Tragedi ini berjalan cukup lama,
yang mengakibatkan terjadi tarik menarik massa, di tubuh Al Washliyah karena
adanya benturan kepentingan.
Ephoria Reformasi
Era reformasitelah
dimanfaatkan dengan antusias oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia untuk
mengaktualisasikan hak, pikiran, ide, dan naluri politik melalui kotak yang
bernama partai politik yang dijamin oleh konstitusi. Partai politik tumbuh
dengan subur dan telah menginspirasi pengurus dan anggota-anggota Al Washliyah
masuk menjadi anggota berbagai partai politik tersebut. Begitu banyak partai
politik,membuat banyak pilihan bagi
pengurus dan anggota-anggota Al Washliyah untuk aktif di dalamnya. Ada yang di
PPP, Golkar, PBB, PKB, PKNU, Demokrat, Hanura, Barisan Nasional, PKS, PAN dan
sebagainya. Bahkan dengan mudah berganti-ganti partai, karena itu sah-sah saja
dilakukan.Fenomena gonta-ganti partai ini menjadi menarik karena dicontohkan
sendiri oleh Ketua Umum PB. Al Washliyah, Azidin (1997-2010 ?). Sepertinya lima
tahun sekali ganti partai, pernah di Golkar, PKB, Demokrat dan terakhir di Partai Hanura. Demikian juga Yusuf
Pardamean, pernah menjadi anggota Parmusi/PPP, kemudian PUI, Demokrat, dan di
Barisan Nasional. Tipikal semacam inipun tentu
masih ada selain mereka, karena seorang Azidin rasanya tidak mungkin tidak
mengajak orang yang seide dengannya untuk ikut kemana dia berpolitik. Ini hanya
untuk menyebut dua nama saja dari PB. Al Washliyah yang betul-betul ”menikmati”
ephoria demokrasi dan juga mungkin memanfaatkan kelonggaran aturan main di Al
Washliyah. Saya mengatakan kelonggaran aturan main, karena organisasi semacam
Muhammadiyah dan NU tidak pernah menempatkan ketua umumnya menjadi anggota
partai politik, kalau hendak berpolitik praktis mundur dulu dari ketua
umum.
Partai sesungguhnya adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai
kepentingan, yang tujuan ”sucinya” untuk memberikan kesejahteraan kepada
seluruh rakyat. Dalam konsep yang demikian, keterlibatan dalam partai adalah
sebuah pilihan yang mulia. Terlibat dalam partai kemudian menjadi anggota legislatif
yang diusung partainya atau dalam jabatan eksekutif itu merupakanamanah rakyat. Ketika semua calon anggota legislatif menjadikan
kesejahteraan rakyat dan peningkatan kualitas
pendidikan sebagai sasaran utama yang akan
diwujudkannya, maka strategi yang digunakan untuk meraih dukungan jangan sampai
justru mengakibatkan benturan-benturan di berbagai lapisan masyarakat. Benturan dalam masyarakat
umum apa lagi dalam komunitas masyarakat tertentu yang sudah punya label
sendiri (seperti komunitas Al Washliyah), maka partai sesungguhnya tidak
mempunyai keterikatan untuk menyelesaikan benturan tersebut.
Ini juga yang harus kita katakan kepada para pengurus dan semua warga Al Washliyah, yang telah menentukan
pilihannya, apa itu di dalam partai yang sama, apa lagi di partai yang berbeda. Energi politik
warga Al Washliyah akan terkuras pada pesta demokrasi melalui pemilukada
(pemilihan umum kepala daerah) yang berlangsung di berbagai daerah, termasuk
dalam waktu dekat pemilihan Gubernur Sumatera Utara (basis Al Washliyah).
Heterogenitas sikap warga Al Washliyah dalam pilihan partai adalah sebuah
kenyataan, yang menandakan bahwa saat ini sudah sangat terbuka peluang untuk
bermain dan menyalurkan aspirasi politik melalui partai politik apa saja maupun
memilih calon Kepala Daerah yang tidak melalui jalur partai. Komunitas Al
Washliyah tersebar di berbagai daerah Indonesia, bahkan sampai di pelosok-pelosok
wilayah terutama di Sumatera. Kandidat kepala
daerah yang akan berkompetisi akan berupaya mendulang suara dari warga Al
washliyah. Kompetisi inilah yang sangat memungkinkan terjadinya tarik menarik
massa, pengaruh mempengaruhi kekuatan dan mengumbar janji apa yang akan
dilakukan bila terpilih menjadi kepala daerah. Mengingat seeting zaman sudah berbeda, maka tidak saatnya lagi ada
dari seluruh struktur kepengurusan ataupun dewan fatwa Al washliyah membuat
statemen apa lagi fatwa untuk mendukung partai dan orang tertentu dalam
pemilukada atau pemilu, kecuali barangkali tokoh Al Washliyah muncul sebagai
calon.
Secercah Harapan
Secara organisatoris Al Washliyah bertujuan untuk mengamalkan ajaran
Islam, bergerak dalam ranah sosial, dakwah dan pendidikan. Gerak dakwah
mengislamkan orang-orang yang belum beragama sudah menjadi icon Al
Washliyah. Meski demikian naluri politik warga Washliyah itu memang cukup kuat, dan sudah
terlihat dari sejarah perjalanan Al Washliyah sendiri. Itu seharusnya menjadi
kekuatan bila semua energi untuk berpolitik diarahkan kepada tujuan dan sasaran
yang sama. Membangun dan mengembangkan pendidikan Islam yang lebih berkualitas
melalui Al Washliyah, barangkali dapat dijadikan isu sentral. Sasaran
pembangunan pendidikan setidaknya diarahkan kepada beberapa komponen seperti
perbaikan kondisi gedung, ruang kelas dan kelengkapan sarana prasarana lainnya,
mengatasi anak putus sekolah karena kekurangmampuan ekonomi, keterbatasan
keadaan ekonomi, keterbelakangan dan kemiskinan.
Di tengah perlombaan berbagai lembaga membina dunia pendidikan, Al
Washliyah sampai saat ini belum melakukan pengelolaan lembaga pendidikannya
secara serius. Ratusan madrasah, maupun sekolah-sekolah umum Al Washliyah yang
berada di berbagai pelosok daerah masih berjalan dalam kondisi gedung, ruang
maupun sarana prasarana yang kurang memadai, kualitas out put pendidikan yang
belum mempunyai prestasi optimal. Oleh karena itu bagi seluruh semua warga
Washliyah, legislator dan pejabat eksekutif yang berasal dari Al Washliyah, tidak usah
menunggu apa yang mesti dilakukan oleh pengurus Al Washliyah dari semua
jajaran, lakukan upaya membangun dunia pendidikan Al Washliyah.
Enam
puluh satu tahun yang lalu, tepatnya tanggal 22 Desember 1951, Ismail Banda
gugur di Teheran, Iran ketika menjalankan tugas negara sebagai Kuasa Usaha
(perwakilan) Negara Indonesia di Afganistan. Pesawat yang membawa beliau
bersama pejabat-pejabat penting bangsa lain terjatuh dihantam badai topan di
Teheran.
Di
organisasi Al Jam’iyatul Washliyah Ismail adalah pendiri. Belum lama ini Pengurus
Besar Al Jam’iyatul Washliyah melalui WEB Majelis Sosial membuat publikasi
mengusulkan tokoh Ismail Banda untuk dapat ditetapkan menjadi Pahlawan
Nasional. Bagai gayung bersambut, salah satu kandidat Gubernur Provinsi
Sumatera Utara Tahun 2013 - 2018 Chairuman Harahap, yang juga anggota Komisi II
DPRRI, menyatakan untuk mendukung idea atau wacana mem-pahlawannasional-kan
Ismail Banda (Harian Waspada, 1
Desember
2012)
Adalah
hak setiap orang, lembaga negara, organisasi, kelompok masyarakat untuk mengajukan
usul pemberian gelar calon pahlawan nasional, sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda
Kehormatan. Pahlawan Nasional menurut UU No. 20 Tahun 2009 ini adalah gelar
yang diberikan kepada WNI atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di
wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara atau yang semasa
hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya
yang luar biasa bagi pembangunandan
kemajuan bangsa dan Negara Republik Indonesia.
Mengacu
kepada UU No. 20 T5ahun 2009, posisi Al Washliyah sudah benar. Sebagai
organisasi, sah-sah saja untuk mengusulkan salah satu pendirinya menjadi pahlawan
nasional, dan bahkan itu merupakan “kewajiban moral” memprakarsai pengusulan
tersebut.
Ismail Banda berfoto bersama keluarga menjelang keberangkatan ke Afganistan
Sekilas tentang Al Washliyah
Al
Jam’iyatul Washliyah adalah organisasi sosial, pendidikan dan dakwah, didirikan
di Medan pada tanggal 30 November 1930, yang cikal bakalnya berasal dari sebuah
kelompok diskusi yang disebut “Debating
Club” dibentuk oleh pelajar-pelajar Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT).
Kumpulan pelajar ini biasa mendiskusikan dan membahas persoalan-persoalan agama
Islam dan masyarakat. Ismail Banda menjadi penasehat dari debating club ini, yang diketuai oleh Abdul Rahman Syihab.
Pelajar-pelajar ini rupanya melihat dan merasakan kelompok diskusi saja tidak
cukup refresentatif untuk mewujudkan hasil-hasil diskusi dan pembahasan karena dalam
perkembangannya mereka tidak hanya mendiskusikan soal-soal agama tapi juga
soal-soal politik, soal hak bernegara dan berbangsa. Dari hasil bertukar
pikiran, berdiskusi dan berdebat, lahir kesepakatan untuk memperluas kegiatan
dari sekedar debating club itu.
Pada
tanggal 26 Oktober 1930 dilangsungkanlah suatu pertemuan dengan yang melibatkan ulama-ulama, guru-guru,
pemimpin-pemimpin Islam di Medan. IsmailBanda menjadi tokoh sentral yang memberikan berbagai advis dalam
pertemuan tersebut. Diputuskanlah untuk membentuk sebuah perhimpunan yang
bertujuan memajukan, mementingkan, dan menambah tersiarnya Agama Islam.
Perhimpunan inilah akhirnya diberi nama Al Jam’iyatul Washliyah, yang artinya
perhimpunan yang menghubungkan dan mempertalikan. Susunan Pengurus untuk
persiapan ditetapkan Ketua Ismail Banda, Penulis M. Arsyad Thalib Lubis. Untuk
pengukuhan organisasi dan memperluas susunan kepengurusan maka pada tanggal 30
November 1930 diadakan pertemuan lanjutan. Ditetapkanlah secara resmi nama
organisasi Al Jam’iyatul Washliyah yang pada periode pertama susunan
pengurusnya adalah Ketua I: Ismail Banda, Ketua II: Abdul Rahman Syihab, Penulis
I: M. Arsyad Thalib Lubis, Penulis II: Adnan Nur, Bendahari H.M. Ja’kub dan penasehat
Syech H. Muhammad Yunus (PB Al
Djam’ijatul Washlijah, Peringatan Al Djamijatul Washliyah ¼ Abad, 1956).
Dari sejak pelajar berdiskusi di debating
club sampai mendirikan organisasi Al Jam’iyatul Washliyah, di tengah
cengkeraman penjajah Belanda, menunjukkan betapa kuatnya tertanam jiwa
kejuangan Ismail Banda untuk hidup merdeka.
Sebelum Proklamasi Kemerdekaan
Ismail
Banda lahir pada tahun 1910 dari ayah bernama Banda dan ibu Sariani Aminah yang
tinggal di Kampung Sei Mati, kemudian berpindah ke Petisah,Medan. Beliau
belajar di Madrasah Islamiyah Tapanuli (MIT) selama 5 tahun. Pada tahun 1930,
dalam usia yang relatif muda, beliau mendirikan Al Jam’iyatul Washliyah, yang
menunjukkan bukti kejuangannya. Perhimpunan Al Washliyah ini pertama kali di
Sumatera Utara yang menerapkan model pendidikan modern, yaitu menggunakan
system klasikal. Ini memperlihatkan besarnya semangat Al Washliyah melakukan pembaharuan,
hidup mandiri dan modern. Pada tahun 1932, setelah mendirikan Al Washliyah untuk
pertama kali ia berangkat ke Mekkah dan berlanjut ke Mesir belajar di Al Azhar.
Di Mesir selain menimba ilmu pengetahuan, sampai ia mendapat gelar MA, Ismail
Banda aktif melakukan pergerakan untuk kemerdekaan. Ini ditandai dengan
aktivitasnya di Jami’ah Chairiyah (Perkumpulan Kebajikan) yang sudah didirikan oleh
orang-orang Indonesia di Mesir pada tahun 1923. Jami’ah Chairiyah pada tahun
1933 berubah menjadi Perhimpunan Indonesia Raya, dan pada tahun 1938 berubah
lagi menjadi Perhimpunan Pemuda Indonesia Malaya (Perpindom) dan ia menjadi ketua
dari perhimpunan ini. Di Perpindom aktivitas Ismail Banda semakin kuat dalam
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Guna menyebarluaskan gagasannya Perpindom
menerbitkan majalah Suara Al Azhar dan Pilihan Timur yang beredar di Indonesia,
yang akhirnya dilarang pemerintah Belanda. Di Mesir ia menjadi koresponden
Pewarta Deli yang banyak menyuarakan perjuangan dan pergerakan kemerdekaan.
Ismail Banda bersama teman-teman pemuda/mahasiswa memainkan peran diplomatik, melakukan
pendekatan dengan petinggi-petinggi Mesir dan Palestina.
Atas inisiatif M. Zen Hassan dibentuk
Panitia 6. Ismail Banda yang menjadi Ketua Perpindom menjadi salah satu anggota
Panitia 6, yang berkembang menjadi Panitia Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI), juga sering disebut Panitia Pusat berkedudukan di Mesir.
Kekalahan Belanda terhadap Jerman pada
PD ke II, berakibat terjadinya pendudukan Jepang di Indonesia, dan berdampak buruk
pada Belanda. Untuk memperlihatkan pengaruhnya masih tetap kuat di Indonesia,
maka pangeran Bernard (suami Ratu Juliana) datang ke Timur Tengah. Harian Le
Journal Egypt (koran berbahasa Perancis) yang terbit di Kairo memberitakan bahwa
rakyat Indonesia di luar negeri telah menyatakan tekad akan sama-sama rakyat
Belanda “membebaskan” Indonesia dari pendudukan Jepang. Berita ini dibantah
oleh pemuda, mahasiswa Indonesia di Timur Tengah dengan membuat pernyataan di
suara Perpindom.
Pada waktu Jepang menunjukkan gelagat
akan kalah melawan sekutu, Jepang memberi kemerdekaan kepada Indonesia pada
tahun 1944. Berita ini tersiar sampai ke Timur Tengah, sehingga atas
lobbi-lobbi yang dimainkan oleh Ismail Banda dan kawan-kawan berita tersebut
langsung direspon Mufti Besar Palestina Amin Al Husaini, yang menyatakan
selamat atas kemerdekaan Indonesia. Surat kabar Al ahram dua hari
berturut-turut memberitakan kemerdekaan ini (M. Zen Hassan, Diplomasi Revoluasi Indonesia di Luar Negeri, Bulan Bintang,
1980), walaupun kita ketahui itu bukanlah ril kemerdekaan Indoensia. Tetapi
gaungnya telah begitu membahana di TimurTengah, sampai begitu antusias disambut oleh mufti Palestina.
Pada tahun 1944 itu juga digelar kongres
Pan Arab (Liga Arab) di Iskandariyah, Mesir. Ismail Banda dan M. Zen Hassan
diutus menjumpai para Menteri Luar Negeri negara-negara Arab yang sedang
berkongres tersebut. Mereka membawa nota tuntutan yang isinya:
a.Pengakuan atas
kemerdekaan Indonesia
b.Jaminan persatuan
Indonesia seperti sebelum pendudukan asing dengan tak dibagi-bagi
c.Ikut serta wakil-wakil
Indonesia yang sebenarnya dalam menentukan soal-soal perdamaian sesudah perang
Kata M. Zen Hassan, nota tuntutan inilah
(yang dibawanya bersama Ismail Banda)
yang telah membuat hubungan-hubungan kami dengan kongres dan tiga tuntutan yang
kami majukan telah merintis jalan bagi hubungan dengan Liga Arab dan
tuntutan-tuntutan pengakuan de facto
dan de jure sesudah proklamasi.
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan
Setelah
Perang Dunia II berakhir, dan pada tahun 1945 Soekarno - Hatta membacakan teks
proklamasi kemerdekaan Indonesia, yang tentu saja tidak disukai oleh Belanda.Sadar bahwa pernyataan proklamasi kemerdekaan
tidak akan berarti apa-apa jika tidak medapat pengakuan dunia internasional,
maka Ismail Banda bersama kawan-kawan di Panitia Pusat, semakin meningkatkan
aktivitasnya melakukan lobi-lobbi diplomatik, tidak hanya di Mesir tetapi
Negara-negara Timur Tengah. Memperoleh pengakuan inilah yang menjadi tantangan
terberat setelah adanya pernyataan kemerdekaan.Tantangan atau hambatan yang dihadapi Panitia ketika itu adalah
ketidaklancaran komunikasi, sehingga tidak mudah untuk menyiarkan berita
tersebut secara luas antara lain karena adanya blokade tentara sekutu yang bermaksud
mengembalikan kekuasaan Belanda (Riza
Sihbudi, Indonesia -Timur Tengah:
Masalah dan Prospek, Gema Insani, 1997).
Diplomasi
panitia telah berhasil meyakinkan Mufti Besar Palestina Amin Al Husaini,
Muhammad Ali Taher saudagar kaya Palestina. Media-media Timur Tengah gencar
memberitakan kemerdekaan Indonesia. Bahkan petinggi-petinggi Mesir , Timur
Tengah sengaja membentuk “Panitia Pembela Indonesia”. Dukungan semakin kuat
terbukti dari diangkatnya isu Indonesia oleh perwakilan-perwakilan Negara Timur
Tengah di lembaga internasional PBB dan Liga Arab. Tugas utama panitia ini
adalah mengusahakan pengakuan de facto dan de jure dari Negara-negara Arab bagi
kemerdekaan Indonesia. Pada bulan Oktober 1946 panitia tersebut mengadakan
Konperensi di Mekkah, dan menyusun program kerja terdiri atas 1) melawancampur tangan bersenjata Inggris dan
menganggap Belanda sebagai pembonceng 2) membebaskan warga Indonesia dari
perwalian kedutaan-kedutaan Belanda 3) menunjuk Kairo sebagai pusat
panitia-panitia pembela di Timur Tengah. Tanggal 18 November 1946 Liga Arab
memberikan rekomendasi pada anggotanya agar mengakui Indonesia sebagai Negara
merdeka. Keputusan Liga Arab ini kemudian disampaikan Konjen Mesir di Bombay
Abdul Mun’im kepada PM. Syahrir pada bulan Maret 1947.
Hubungan
antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat Mesir terjalin cukup lama sejak
awal tahun 1900-an, namun pengakuan resmiMesir terhadap Republik Indonesia tidaklah terjadi dengan begitu saja .
Pengakuan itu melalui proses yang cukup panjang. Setidak-tidaknya terlihat dari
jarak waktu antara proklamasi Indonesia 1945, dengan pengakuan Mesir yang terjadi
tahun 1947 (Riza Sihbudi)
Pengakuan Liga Arab sudah menjadi modal
dasar yang kuat bagi panitia untuk terus menggerakkan lobi-lobinya. Panitia ini
megusulkan lagi kepada Sekretariat Liga agar:
1.Mengirim satu perutusan
resmi guna menyampaikan keputusan itu kepada pemerintah RI
2.Berusaha membawa
pembesar-pembesar resmi Indonesia ke luar negeri guna menyuarakan RI di luar
negeri.
Kerja keras Panitia Pusat ini telah
membuahkan hasil pada tanggal 22 Maret 1946 Mesir mengakui Panitia Pusat
sebagai de facto perwakilan RI.Setelah adanya pengakuan tersebut berdatanganlah
delegasi Indonesia ke Timur Tengah. Delegasi RI pertama kali ke Mesir tanggal
19 April 1947 dipimpin Menlu H. Agus Salim. Mulusnya delegasi ini menjalankan
misinya tak lepas dari peran yang dilakukan oleh panitia pusat di Timur Tengah.
Seperti yang dikatakan Agus Salim sendiri “Panitia-panitia Saudara-saudara
telah memungkinkan RI dengan resmi keluar memulai perjoangan diplomasi di
gelanggang internasional. Sokongan Negara-negara Arab telah berhasil
saudara-saudara dapatkan sepenuhnya. Kami mendapati segala sesuatu yang telah
selesai. Kedatangan kami seolah-olah hanya untuk menandatangani dokumen-dokumen
yang telah saudara-saudara siapkan (M.
Zen Hassan)
Berturut-turut
datang delegasi yang dipimpin Sutan Syahrir, Moh, Hatta. Pengakuan ini mungkin
saja tidak terjadi atau bisa lebih lama lagi dan delegasi-delegasi itu bisa
saja mengalami hambatan jika Panitia
Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia itu
tidak gigih meyakinkan petinggi-petinggi Mesir dan Timur Tengah.
Dari
Yogyakarta ke Afganistan
Pertengahan tahun 1947 Ismail Banda
kembali ke Tanah Air, bekerja pada Departemen Agama, di ibukota Negara waktu
itu Yogyakarta. Tidak lama kemudian beliau pindah ke Departemen Luar
Negeri.Selama di Yogyakarta Ismail
Banda memberi
kuliah di Universitas Islam Indonesia dan mengajar di sekolah-sekolah agama, serta berperan aktif di RRI Yogyakarta memberitakan
perjuangan kemerdekaan maupun RRI di Jakarta. Almarhum terkenal sebagai orang yang aktif dan rajin dalam siaran bahasan Arab
diRRI sejak masa revoluasi di
Yogyakarta sampai dipindahkannya ke siaran luar negeri RRI di Jakarta. Keluarga
RRI merasa kehilangan seorang keluarga, rekan yang ikhlas, ramah, riang dan
santun dalam pergaulan.Beliau juga ia bergaul
akrab dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah. Tak berlebihan bila Kahar Muzakkir,
sehabat beliau menyebut Ismail Banda sebagai pelopor kemerdekaan. (PB Al Djam’ijatul Washlijah, Peringatan Al
Djamijatul Washliyah ¼ Abad, 1956).
Setelah pembukaan perwakilan RI di Mesir,
menyusul pembukaan perwakilan RI di Saudi Arabia.H.M. Rasyidi sebagai wakil resmi RI berangkat
ke Saudi bersama Missi Haji RI yang dipimpin Ismail Banda. Untuk pertama kali, pada
tanggal 17 Oktober 1948 Ismail Banda ditetapkan sebagai
Kepala Perwakilan RI (setingkat kedutaan) di Saudi Arabia yang berkedudukan di
Jeddah. Ismail Banda menurut penuturan
M. Zen Hassan telah berangkat ke Mesir untuk membeli peralatan Kedutaan, tetapi
aksi Belanda kedua telah melambatkan pelaksanaannya (M. Zen Hassan).
Mengubah Wacana Jadi
Realita
Al
Jam’iyatul Wasliyah sebagai sebuah organisasi pergerakan kemerdekaan, dan sudah
membuktikan diri mengisi kemerdekaan dibangun oleh tokoh-tokoh yang ikhlas
dalam perjuangan. Menjadi suatu kajian yang menarik barangkali terhadap sosok
Ismail Banda adalah bahwa didalam negeri beliau telah terbukti mampu menggalang
kekuatan pemuda, pelajar sampai akhirnya mendirikan organisasi Al Jam’iyatul
Washliyah,yang sampai saat ini terus
berkembang, mengisi pembangunan dan reformasi Indonesia. Kertika ia belajar ke
luar negeri, jiwanya tetap terpanggil untuk menggerakkan pemuda-mahasiswa dalam
perjuangan merebut kemerdekaan, sampai akhirnya diangkat menjadi kuasa usaha
pemerintah Indonesia untuk Afganistan. Allah berkehendak lain dalam usia
relatif muda, 41 tahun, dalam menjalankan tugas Negara beliau gugur di Iran.
Sekelumit
perjuangan Ismail Banda seperti diuraikan dapat menjadi referensi awal bagi
upaya untuk mengubah wacana mem-pahlawannasionalkan-kan Ismail Banda menjadi
realita. Kerja keras dan kerja cerdas khususnya bagi warga Al Washliyah dan
masyarakat yang memahami kejuangan Ismail Banda sangat dituntut.
Perjuangan
beliau telah terbukti, aturan tentang pemberian gelar, tanda jasa, dan
kehormatan telah terang benderang. Upaya mengkaji peran dan kejuangan beliau
terhadap perebutan dan menjaga kemerdekaan perlu digali lebih dalam lagi. Sudah
enam puluh satu tahun jenazah beliau berada di perkuburan Teheran. Kita tidak
tahu apakah pusara beliau masih diziarahi, masih dikenali. Sebagai salah satu
tokoh yang sudah nyata perjuangannya baik di dalam negeri maupun di luar negeri
bagi kemerdekaan Republik Indonesia, maka sudah selayaknyalah bangsa ini memberikan
perhatian dan penghargaan terhadap beliau. Teman-teman seperjuangan beliau M.
Zen Hassan, Imron Rosyadi, H.M. Jaafar Zainuddin ,Mansur Abu Makarim, Zaidan
Abdul Samad, BA. Ubani, H. Hanan Abbas, Muhammad Muin, Haludin Lubis, A.B.
Lubis pada tahun 1970 mendapat “Satia Lencana Kemerdekaan”melalui Surat Keputusan Presiden No.
013/TK/1969.
Banten,
28 Desember 2012
============
Penulis adalah Ketua
PP. Gerakan Pemuda Al Washliyah (GPA) periode
1997-2003
Bekerja di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta