Rabu, 09 Januari 2013

SE 39 Tahun 2012



Category: Asia
Published on Tuesday, 08 January 2013 17:39
Written by Miraj News (afta)
Hits: 60
http://www.mirajnews.com/images/madrasah.jpg       
Jakarta, 27 Shafar 1434/8 Januari 2013 (MINA) –Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi menegaskan bahwa tidak pernah ada larangan bagi Pemerintah Daerah (Pemda) untuk memberikan bantuan kepada madrasah melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
       Mendagri menjawab polemik yang kurang pas itu seperti pernah disampaikan dalam Surat Edaran (SE) Mendagri 903/5361/SJ tertanggal 28 Desember 2012 lalu, tentang Bantuan APBD kepada Madrasah, tidak ada satu kata pun terkait pelarangan.      
 “Tidak pernah ada larangan sekolah dapat anggaran. Tidak hanya madrasah, bantuan Pemda boleh untuk lembaga pendidikan lainnya,” ujar Mendagri Gamawan Fauzi, dalam pernyataan Sekretariat Kabinet RI, kemarin.
      Merujuk pada UU Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, lanjut Mendagri, pembiayaan pendidikan tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat.
 
      Karena itu, madrasah sebagai lembaga pendidikan, pada prinsipnya dapat memperoleh bantuan pendanaan dari Pemda, termasuk yang bersumber dari APBD, katanya.
      Menurut Mendagri, Surat Edaran Nomor 39 tahun 2012 yang dipermasalahkan tentang Perubahan atas Peraturan Mendagri Nomor 32 tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari APBD.
      Permendagri Nomor 39 Tahun 2012 merupakan revisi atas Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial dari APBD, sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengatur penggunaan dana APBD untuk membantu madrasah.
      “Tidak ada aturan dalam bentuk Permendagri yang melarang bantuan untuk madrasah. Permendagri itu sama sekali tidak melarang pemberian hibah untuk madrasah," kata Gamawan.
      Mendagri Gamawan menjelaskan Permendagri Nomor 39 Tahun 2012 hanya mengatur kriteria pemberian hibah yang sifatnya tidak wajib, tidak mengikat, serta tidak terus-terusan diberikan setiap tahun anggaran.
      "Justru Pemda dapat mendanai kegiatan proses belajar mengajar pada sekolah-sekolah yang dikelola masyarakat. Termasuk yang berbasis keagamaan seperti Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD), Madrasah Tsanawiyah (SMP) dan Madrasah Aliyah (SMA). Jadi tidak ada edaran yang melarang hibah untuk madrasah," tegasnya.
      Sebelumnya memang sempat beredar berita beberapa pihak mengeluhkan kebijakan Mendagri yang melarang alokasi APBD untuk membantu madrasah. Sejumlah daerah yang tengah menyusun RAPBD 2013, mengeluhkan kebijakan Mendagri yang disebut dalam bentuk Surat Edaran itu.
Tidak Tumpang Tindih
      Direktur Pondok Pesantren Depag RI, Ace Saefuddin mengatakan, sampai saat ini tak ada bentuk larangan Pemerintah Daerah membantu dana untuk madrasah di seluruh Indonesia, termasuk Menteri Dalam Negeri melalui surat edarannya.
 
      “Setelah diteliti, tidak ada aturannya. Bahkan surat edaran dari Mendagri pun tidak ditemukan,” kata Ace Saefuddin di Serang, Banteng, Senin (7/1).
Ia menjelaskan, Permendagri Nomor 39 tahun 2012 tentang pemberian hibah dan bantuan sosial yang bersumber dari APBD, dan ditanda tangani Mendagri Gumawan Fauzi tanggal 21 Mei 2012 tak menyebut tentang larangan itu. Yang ada adalah pengaturan tentang bantuan dari APBD agar tidak tumpang tindih.
 
      “Jadi, dengan demikian tak ada larangan bantuan bagi Pemda untuk membantu setiap madrasah di daerahnya masing-masing,” tandasnya.
      Ia menambahkan, bahkan Pemda Jatim, Jabar, dan Banten sudah bersepakat akan mengeluarkan regulasi untuk memberikan bantuan kepada madrasah. Madrasah adalah salah satu institusi pendidikan yang didirikan masyarakat atau swasta. Kebanyakan ditangani para kyai.
 
      Sebelumya, Menteri Agama Suryadharma Ali pada Hari Amal Bakti (HAB) Kementerian Agama ke-67 di Padang, Ahad (6/1) mengimbau seluruh Pemda untuk bekerjasama meningkatkan program pendidikan keagamaan, termasuk memberikan dana dari APBD. Dengan demikian tidak ada diskriminasi bagi lembaga pendidikan agama seperti madrasah. (T/R-015/R-005)

Jumat, 04 Januari 2013

Dinamika politik




Sekilas Dinamika Politik Al Washliyah

Oleh : Ridwan Tanjung, SH, M. Si


Sepanjang sejarah organisasi Al Washliyah, dari zaman pra kemerdekaan, awal kemerdekaan, dan masa merdeka, pengurus dan anggota-anggota Al Washliyah telah terlibat dalam kehidupan berpolitik, baik itu sebagai anggota maupun simpatisan partai. Pada pra kemerdekaan, tahun 1937 ketika berdiri Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) di Surabaya, diprakarsai oleh Hasbullah Wahab (NU), Mas Mansur (Muhammadiyah) Ahmad Dahlan  dan Wondoamiseno, yang merupakan federasi ormas-ormas Islam untuk membuka ruang yang lebih terbuka dalam memperhatikan dan melayani urusan sosial umat Islam, dan sesungguhnya juga bidang politik. Al Washliyah menjadi salah satu organisasi yang mendukung MIAI. Generasi pertama pengurus Al Washliyah seperti H. Abdul Rahman Syihab, H. Arsyad Thalib Lubis, adalah tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan yang tidak saja sebagai ulama tetapi juga menjadi tokoh politik.  Tak bisa dipungkiri karena keulamaannya dan kemampuan berpolitiknyalah Abdul Rahman Syihab dipilih menjadi ketua komisi untuk penyebaran Islam pada kongres MIAI tahun 1941 di Solo.  Salah satu butir putusan MIAI pada kongresnya itu adalah menugaskan kepada Al Washliyah supaya  mengusahakan berdirinya central zending Islam di Indonesia, dengan menyampaikan hasil-hasilnya kepada dewan MIAI. Putusan lain dari MIAI yang menampakkan perannya dalam bidang politik adalah menuntut pembebasan Haji Rasul (ayah Hamka) dari penahanan Belanda, penolakan terhadap wajib militer atau milisi, menuntut Indonesia berparlemen, dan lain sebagainya. MIAI akhirnya dibubarkan oleh penjajah Jepang , karena dianggap tidak mendukung pemerintahannya (Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, 1990)

Pada awal kemerdekaan, November 1945 berdiri Partai Masyumi. Al Washliyah secara organisasi bersama banyak organisasi Islam lainnya seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU), PSII, Persis menjadi pendukung (anderbouw) dari partai yang dianggap sebagai penerus dari MIAI. Pada saat itu Masyumi mengambil posisi sebagai satu-satunya partai Islam, karena memang didukung oleh banyak organisasi dan bahkan partai Islam yang sebelumnya ada, seperti PSII. Namun ini tidak berlangsung lama karena PSII dan NU menarik diri dari Masyumi dan menjadi partai sendiri. Suatu hal yang perlu dicatat bahwa ketika mengetahui  NU menarik diri dari Masyumi, Al Washliyah menunjukkan sikap keprihatinan dengan mengirimkan surat kawat kepada panitia kongres NU di Palembang agar tidak menarik diri dulu dan membicarakan hal itu dalam muktamar Masyumi dan mengutus Abdul Rahman Syihab menemui DPP Masyumi di Jakarta. Partai Masyumipun akhirnya dibubarkan oleh Bung Karno 

Sejak awal kemerdekaan sampai dibubarkannya, dapat dikatakan Masyumi menjadi partainya Al Washliyah. Setiap kepala orang Al Washliyah seolah ”berstempel” Masyumi. Keterikatan yang erat antara Al Washliyah dengan Masyumi menjadi lebih kentara ketika menghadapi pemilu 1955.  PB. Al Washliyah mengeluarkan fatwa agar semua anggota Al Washliyah memilih Partai masyumi. Fatwa ini tidak pernah mendapatkan tantangan, berjalan tanpa protes. Suatu situasi yang menggambarkan betapa solidnya kebersamaan di tubuh Al Washliyah.

Kalau Masyumi penerus MIAI, maka setelah Masyumi bubar, boleh dikatakan partai Islam ini dilanjutkan oleh Partai Musliman Indonesia (Parmusi). Logika ini cukup beralasan, karena bila ditelusuri MIAI adalah federasi dari berbagai organisasi Islam, sama halnya dengan Masyumi. Demikian pula ketika pembentukan awal Parmusi, nuansa ke-Masyumi-an terlihat begitu kental. Andaikata saja Soeharto melalui Alamsyah Ratuperwira Negara tidak mengintervensi, maka Muh. Roem tokoh Masyumi akan terpilih sebagai ketua umum pertama Parmusi. Nasib Parmusi sebagai partai politik juga sama dengan partai-partai Islam sebelumnya, karena harus dimerger (fusi) bersama-sama dengan Perti, PSII ke dalam PPP melalui tangan Pemerintah Orde Baru. 

Paling menarik adalah Al  Washliyah tetap menjadi peturut setia dari ”reinkarnasi” partai-partai Islam, karena Washliyah pun berafiliasi kepada Parmusi. Jaelani Naro yang tiba-tiba di-”Washliyahkan” muncul menjadi ketua umum Parmusi melalui ”kudeta” pada tahun 1970.   Suatu akrobatik politik yang sesungguhnya tak begitu menggembirakan bagi sebagian besar kalangan Al Washliyah, karena Jaelani Naro tak punya riwayat organisatoris di Al Washliyah dan terkesan dipaksakan untuk menjadi orang washliyah. Ini perlu menjadi cacatan sejarah bagi gerak dinamika politik Al Washliyah, karena di tengah ketidaksimpatikan sebagian besar kalangan Al Washliyah terhadap akrobatik politik yang dilakukan Naro, justru ini sedikit banyak memberikan stimulus bagi Pengurus PP. GPA untuk berkiprah ke Jakarta, yang sebelumnya berdomisili di Medan. Keberhasilan A. Muis A.Y (almarhum), Ketua PP. GPA menjadi anggota DPR-RI pada Pemilu 1982, saya kira merupakan dampak dari di-Washliyah-kannya Naro, karena Naro dalam waktu singkat punya kekuasaan yang tinggi di PPP untuk menempatkan siapa saja yang dia inginkan menjadi anggota DPR-RI terutama dari unsur Parmusi.

Secara historis sejak pra kemerdekaan hingga Orde Baru partisipasi politik Al Washliyah tampak berjalan linear, berkutit dalam partai-partai Islam (MIAI, Masyumi, Parmusi). Adanya partisipasi di luar itu, seperti adanya pengurus dan anggota Al Washliyah yang masuk menjadi anggota Golkar atau PDI dipandang sebagai sebuah pengingkaran terhadap mainstreams Al Washliyah. Fathi Dahlan, dari unsur PB. Al Washliyah waktu itu, dianggap keluar mainstream itu, karena dia menjadi anggota legislatif dari Golkar. Pengingkaran yang paling tragis adalah ketika muncul organisasi yang bernama ”Al Washliyah 30” yang ingin membawa Al Washliyah ke Gerbong Golkar. Tragedi ini berjalan cukup lama, yang mengakibatkan terjadi tarik menarik massa, di tubuh Al Washliyah karena adanya benturan kepentingan.

Ephoria Reformasi

Era reformasi  telah dimanfaatkan dengan antusias oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia untuk mengaktualisasikan hak, pikiran, ide, dan naluri politik melalui kotak yang bernama partai politik yang dijamin oleh konstitusi. Partai politik tumbuh dengan subur dan telah menginspirasi pengurus dan anggota-anggota Al Washliyah masuk menjadi anggota berbagai partai politik tersebut. Begitu banyak partai politik,  membuat banyak pilihan bagi pengurus dan anggota-anggota Al Washliyah untuk aktif di dalamnya. Ada yang di PPP, Golkar, PBB, PKB, PKNU, Demokrat, Hanura, Barisan Nasional, PKS, PAN dan sebagainya. Bahkan dengan mudah berganti-ganti partai, karena itu sah-sah saja dilakukan.  Fenomena gonta-ganti partai ini menjadi menarik karena dicontohkan sendiri oleh Ketua Umum PB. Al Washliyah, Azidin (1997-2010 ?). Sepertinya lima tahun sekali ganti partai, pernah di Golkar, PKB, Demokrat dan terakhir  di Partai Hanura. Demikian juga Yusuf Pardamean, pernah menjadi anggota Parmusi/PPP, kemudian PUI, Demokrat, dan di Barisan Nasional. Tipikal semacam inipun tentu masih ada selain mereka, karena seorang Azidin rasanya tidak mungkin tidak mengajak orang yang seide dengannya untuk ikut kemana dia berpolitik. Ini hanya untuk menyebut dua nama saja dari PB. Al Washliyah yang betul-betul ”menikmati” ephoria demokrasi dan juga mungkin memanfaatkan kelonggaran aturan main di Al Washliyah. Saya mengatakan kelonggaran aturan main, karena organisasi semacam Muhammadiyah dan NU tidak pernah menempatkan ketua umumnya menjadi anggota partai politik, kalau hendak berpolitik praktis mundur dulu dari ketua umum. 

Partai sesungguhnya adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai kepentingan, yang tujuan ”sucinya” untuk memberikan kesejahteraan kepada seluruh rakyat. Dalam konsep yang demikian, keterlibatan dalam partai adalah sebuah pilihan yang mulia. Terlibat dalam partai kemudian menjadi anggota legislatif yang diusung partainya atau dalam jabatan eksekutif  itu merupakan  amanah rakyat. Ketika semua calon anggota legislatif menjadikan kesejahteraan rakyat dan peningkatan kualitas pendidikan sebagai sasaran utama yang akan diwujudkannya, maka strategi yang digunakan untuk meraih dukungan jangan sampai justru mengakibatkan benturan-benturan di berbagai lapisan masyarakat. Benturan dalam masyarakat umum apa lagi dalam komunitas masyarakat tertentu yang sudah punya label sendiri (seperti komunitas Al Washliyah), maka partai sesungguhnya tidak mempunyai keterikatan untuk menyelesaikan benturan tersebut.

Ini juga yang harus kita katakan kepada para pengurus dan semua warga Al Washliyah, yang telah menentukan pilihannya, apa itu di dalam partai yang sama, apa lagi di partai yang berbeda. Energi politik warga Al Washliyah akan terkuras pada pesta demokrasi melalui pemilukada (pemilihan umum kepala daerah) yang berlangsung di berbagai daerah, termasuk dalam waktu dekat pemilihan Gubernur Sumatera Utara (basis Al Washliyah). Heterogenitas sikap warga Al Washliyah dalam pilihan partai adalah sebuah kenyataan, yang menandakan bahwa saat ini sudah sangat terbuka peluang untuk bermain dan menyalurkan aspirasi politik melalui partai politik apa saja maupun memilih calon Kepala Daerah yang tidak melalui jalur partai. Komunitas Al Washliyah tersebar di berbagai daerah Indonesia, bahkan sampai di pelosok-pelosok wilayah terutama di Sumatera. Kandidat kepala daerah yang akan berkompetisi akan berupaya mendulang suara dari warga Al washliyah. Kompetisi inilah yang sangat memungkinkan terjadinya tarik menarik massa, pengaruh mempengaruhi kekuatan dan mengumbar janji apa yang akan dilakukan bila terpilih menjadi kepala daerah. Mengingat seeting zaman sudah berbeda, maka tidak saatnya lagi ada dari seluruh struktur kepengurusan ataupun dewan fatwa Al washliyah membuat statemen apa lagi fatwa untuk mendukung partai dan orang tertentu dalam pemilukada atau pemilu, kecuali barangkali tokoh Al Washliyah muncul sebagai calon.

Secercah Harapan

Secara organisatoris Al Washliyah bertujuan untuk mengamalkan ajaran Islam, bergerak dalam ranah sosial, dakwah dan pendidikan. Gerak dakwah mengislamkan orang-orang yang belum beragama sudah menjadi icon Al Washliyah. Meski demikian naluri politik warga Washliyah itu memang cukup kuat, dan sudah terlihat dari sejarah perjalanan Al Washliyah sendiri. Itu seharusnya menjadi kekuatan bila semua energi untuk berpolitik diarahkan kepada tujuan dan sasaran yang sama. Membangun dan mengembangkan pendidikan Islam yang lebih berkualitas melalui Al Washliyah, barangkali dapat dijadikan isu sentral. Sasaran pembangunan pendidikan setidaknya diarahkan kepada beberapa komponen seperti perbaikan kondisi gedung, ruang kelas dan kelengkapan sarana prasarana lainnya, mengatasi anak putus sekolah karena kekurangmampuan ekonomi, keterbatasan keadaan ekonomi, keterbelakangan dan kemiskinan.

Di tengah perlombaan berbagai lembaga membina dunia pendidikan, Al Washliyah sampai saat ini belum melakukan pengelolaan lembaga pendidikannya secara serius. Ratusan madrasah, maupun sekolah-sekolah umum Al Washliyah yang berada di berbagai pelosok daerah masih berjalan dalam kondisi gedung, ruang maupun sarana prasarana yang kurang memadai, kualitas out put pendidikan yang belum mempunyai prestasi optimal. Oleh karena itu bagi seluruh semua warga Washliyah, legislator dan pejabat eksekutif  yang berasal dari Al Washliyah, tidak usah menunggu apa yang mesti dilakukan oleh pengurus Al Washliyah dari semua jajaran, lakukan upaya membangun dunia pendidikan Al Washliyah.

                                                                                                                    Banten, Januari 2013
Penulis: Ketua Umum PP. GPA Periode 1997-2003

Kamis, 03 Januari 2013

Kepahlawanan Ismail Banda




Mengenang 61 Tahun Gugurnya Ismail Banda
MENGKAJI WACANA KEPAHLAWANAN ISMAIL BANDA
Oleh: Ridwan Tanjung SH, M.SI
Enam puluh satu tahun yang lalu, tepatnya tanggal 22 Desember 1951, Ismail Banda gugur di Teheran, Iran ketika menjalankan tugas negara sebagai Kuasa Usaha (perwakilan) Negara Indonesia di Afganistan. Pesawat yang membawa beliau bersama pejabat-pejabat penting bangsa lain terjatuh dihantam badai topan di Teheran.
Di organisasi Al Jam’iyatul Washliyah Ismail adalah pendiri. Belum lama ini Pengurus Besar Al Jam’iyatul Washliyah melalui WEB Majelis Sosial membuat publikasi mengusulkan tokoh Ismail Banda untuk dapat ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional. Bagai gayung bersambut, salah satu kandidat Gubernur Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013 - 2018 Chairuman Harahap, yang juga anggota Komisi II DPRRI, menyatakan untuk mendukung idea atau wacana mem-pahlawannasional-kan Ismail Banda (Harian Waspada, 1 Desember 2012)
Adalah hak setiap orang, lembaga negara, organisasi, kelompok masyarakat untuk mengajukan usul pemberian gelar calon pahlawan nasional, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Pahlawan Nasional menurut UU No. 20 Tahun 2009 ini adalah gelar yang diberikan kepada WNI atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan  dan kemajuan bangsa dan Negara Republik Indonesia.
Mengacu kepada UU No. 20 T5ahun 2009, posisi Al Washliyah sudah benar. Sebagai organisasi, sah-sah saja untuk mengusulkan salah satu pendirinya menjadi pahlawan nasional, dan bahkan itu merupakan “kewajiban moral” memprakarsai pengusulan tersebut. 

                                                              Ismail Banda berfoto bersama keluarga menjelang keberangkatan ke Afganistan

 Sekilas tentang Al Washliyah
Al Jam’iyatul Washliyah adalah organisasi sosial, pendidikan dan dakwah, didirikan di Medan pada tanggal 30 November 1930, yang cikal bakalnya berasal dari sebuah kelompok diskusi yang disebut “Debating Club” dibentuk oleh pelajar-pelajar Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT). Kumpulan pelajar ini biasa mendiskusikan dan membahas persoalan-persoalan agama Islam dan masyarakat. Ismail Banda menjadi penasehat dari debating club ini, yang diketuai oleh Abdul Rahman Syihab. Pelajar-pelajar ini rupanya melihat dan merasakan kelompok diskusi saja tidak cukup refresentatif untuk mewujudkan hasil-hasil diskusi dan pembahasan karena dalam perkembangannya mereka tidak hanya mendiskusikan soal-soal agama tapi juga soal-soal politik, soal hak bernegara dan berbangsa. Dari hasil bertukar pikiran, berdiskusi dan berdebat, lahir kesepakatan untuk memperluas kegiatan dari sekedar debating club itu.

Pada tanggal 26 Oktober 1930 dilangsungkanlah suatu pertemuan dengan yang  melibatkan ulama-ulama, guru-guru, pemimpin-pemimpin Islam di Medan. Ismail  Banda menjadi tokoh sentral yang memberikan berbagai advis dalam pertemuan tersebut. Diputuskanlah untuk membentuk sebuah perhimpunan yang bertujuan memajukan, mementingkan, dan menambah tersiarnya Agama Islam. Perhimpunan inilah akhirnya diberi nama Al Jam’iyatul Washliyah, yang artinya perhimpunan yang menghubungkan dan mempertalikan. Susunan Pengurus untuk persiapan ditetapkan Ketua Ismail Banda, Penulis M. Arsyad Thalib Lubis. Untuk pengukuhan organisasi dan memperluas susunan kepengurusan maka pada tanggal 30 November 1930 diadakan pertemuan lanjutan. Ditetapkanlah secara resmi nama organisasi Al Jam’iyatul Washliyah yang pada periode pertama susunan pengurusnya adalah Ketua I: Ismail Banda, Ketua II: Abdul Rahman Syihab, Penulis I: M. Arsyad Thalib Lubis, Penulis II: Adnan Nur, Bendahari H.M. Ja’kub dan penasehat Syech H. Muhammad Yunus (PB Al Djam’ijatul Washlijah, Peringatan Al Djamijatul Washliyah ¼ Abad, 1956). Dari sejak pelajar berdiskusi di debating club sampai mendirikan organisasi Al Jam’iyatul Washliyah, di tengah cengkeraman penjajah Belanda, menunjukkan betapa kuatnya tertanam jiwa kejuangan Ismail Banda untuk hidup merdeka.
 
Sebelum Proklamasi Kemerdekaan
Ismail Banda lahir pada tahun 1910 dari ayah bernama Banda dan ibu Sariani Aminah yang tinggal di Kampung Sei Mati, kemudian berpindah ke Petisah,Medan. Beliau belajar di Madrasah Islamiyah Tapanuli (MIT) selama 5 tahun. Pada tahun 1930, dalam usia yang relatif muda, beliau mendirikan Al Jam’iyatul Washliyah, yang menunjukkan bukti kejuangannya. Perhimpunan Al Washliyah ini pertama kali di Sumatera Utara yang menerapkan model pendidikan modern, yaitu menggunakan system klasikal. Ini memperlihatkan besarnya semangat Al Washliyah melakukan pembaharuan, hidup mandiri dan modern. Pada tahun 1932, setelah mendirikan Al Washliyah untuk pertama kali ia berangkat ke Mekkah dan berlanjut ke Mesir belajar di Al Azhar. Di Mesir selain menimba ilmu pengetahuan, sampai ia mendapat gelar MA, Ismail Banda aktif melakukan pergerakan untuk kemerdekaan. Ini ditandai dengan aktivitasnya  di Jami’ah Chairiyah (Perkumpulan Kebajikan) yang sudah didirikan oleh orang-orang Indonesia di Mesir pada tahun 1923. Jami’ah Chairiyah pada tahun 1933 berubah menjadi Perhimpunan Indonesia Raya, dan pada tahun 1938 berubah lagi menjadi Perhimpunan Pemuda Indonesia Malaya (Perpindom) dan ia menjadi ketua dari perhimpunan ini. Di Perpindom aktivitas Ismail Banda semakin kuat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Guna menyebarluaskan gagasannya Perpindom menerbitkan majalah Suara Al Azhar dan Pilihan Timur yang beredar di Indonesia, yang akhirnya dilarang pemerintah Belanda. Di Mesir ia menjadi koresponden Pewarta Deli yang banyak menyuarakan perjuangan dan pergerakan kemerdekaan. Ismail Banda bersama teman-teman pemuda/mahasiswa memainkan peran diplomatik, melakukan pendekatan dengan petinggi-petinggi Mesir dan Palestina.

Atas inisiatif M. Zen Hassan dibentuk Panitia 6. Ismail Banda yang menjadi Ketua Perpindom menjadi salah satu anggota Panitia 6, yang berkembang menjadi Panitia Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), juga sering disebut Panitia Pusat berkedudukan di Mesir.
Kekalahan Belanda terhadap Jerman pada PD ke II, berakibat terjadinya pendudukan Jepang di Indonesia, dan berdampak buruk pada Belanda. Untuk memperlihatkan pengaruhnya masih tetap kuat di Indonesia, maka pangeran Bernard (suami Ratu Juliana) datang ke Timur Tengah. Harian Le Journal Egypt (koran berbahasa Perancis) yang terbit di Kairo memberitakan bahwa rakyat Indonesia di luar negeri telah menyatakan tekad akan sama-sama rakyat Belanda “membebaskan” Indonesia dari pendudukan Jepang. Berita ini dibantah oleh pemuda, mahasiswa Indonesia di Timur Tengah dengan membuat pernyataan di suara Perpindom.

Pada waktu Jepang menunjukkan gelagat akan kalah melawan sekutu, Jepang memberi kemerdekaan kepada Indonesia pada tahun 1944. Berita ini tersiar sampai ke Timur Tengah, sehingga atas lobbi-lobbi yang dimainkan oleh Ismail Banda dan kawan-kawan berita tersebut langsung direspon Mufti Besar Palestina Amin Al Husaini, yang menyatakan selamat atas kemerdekaan Indonesia. Surat kabar Al ahram dua hari berturut-turut memberitakan kemerdekaan ini (M. Zen Hassan, Diplomasi Revoluasi Indonesia di Luar Negeri, Bulan Bintang, 1980), walaupun kita ketahui itu bukanlah ril kemerdekaan Indoensia. Tetapi gaungnya telah begitu membahana di Timur  Tengah, sampai begitu antusias disambut oleh mufti Palestina.

Pada tahun 1944 itu juga digelar kongres Pan Arab (Liga Arab) di Iskandariyah, Mesir. Ismail Banda dan M. Zen Hassan diutus menjumpai para Menteri Luar Negeri negara-negara Arab yang sedang berkongres tersebut. Mereka membawa nota tuntutan yang isinya:
a.       Pengakuan atas kemerdekaan Indonesia
b.      Jaminan persatuan Indonesia seperti sebelum pendudukan asing dengan tak dibagi-bagi
c.       Ikut serta wakil-wakil Indonesia yang sebenarnya dalam menentukan soal-soal perdamaian sesudah perang
Kata M. Zen Hassan, nota tuntutan inilah (yang dibawanya bersama Ismail Banda) yang telah membuat hubungan-hubungan kami dengan kongres dan tiga tuntutan yang kami majukan telah merintis jalan bagi hubungan dengan Liga Arab dan tuntutan-tuntutan pengakuan de facto dan de jure sesudah proklamasi.


 
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan
Setelah Perang Dunia II berakhir, dan pada tahun 1945 Soekarno - Hatta membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia, yang tentu saja tidak disukai oleh Belanda.  Sadar bahwa pernyataan proklamasi kemerdekaan tidak akan berarti apa-apa jika tidak medapat pengakuan dunia internasional, maka Ismail Banda bersama kawan-kawan di Panitia Pusat, semakin meningkatkan aktivitasnya melakukan lobi-lobbi diplomatik, tidak hanya di Mesir tetapi Negara-negara Timur Tengah. Memperoleh pengakuan inilah yang menjadi tantangan terberat setelah adanya pernyataan kemerdekaan.  Tantangan atau hambatan yang dihadapi Panitia ketika itu adalah ketidaklancaran komunikasi, sehingga tidak mudah untuk menyiarkan berita tersebut secara luas antara lain karena adanya blokade tentara sekutu yang bermaksud mengembalikan kekuasaan Belanda (Riza Sihbudi, Indonesia -Timur Tengah: Masalah dan Prospek, Gema Insani, 1997).   
Diplomasi panitia telah berhasil meyakinkan Mufti Besar Palestina Amin Al Husaini, Muhammad Ali Taher saudagar kaya Palestina. Media-media Timur Tengah gencar memberitakan kemerdekaan Indonesia. Bahkan petinggi-petinggi Mesir , Timur Tengah sengaja membentuk “Panitia Pembela Indonesia”. Dukungan semakin kuat terbukti dari diangkatnya isu Indonesia oleh perwakilan-perwakilan Negara Timur Tengah di lembaga internasional PBB dan Liga Arab. Tugas utama panitia ini adalah mengusahakan pengakuan de facto dan de jure dari Negara-negara Arab bagi kemerdekaan Indonesia. Pada bulan Oktober 1946 panitia tersebut mengadakan Konperensi di Mekkah, dan menyusun program kerja terdiri atas 1) melawan  campur tangan bersenjata Inggris dan menganggap Belanda sebagai pembonceng 2) membebaskan warga Indonesia dari perwalian kedutaan-kedutaan Belanda 3) menunjuk Kairo sebagai pusat panitia-panitia pembela di Timur Tengah. Tanggal 18 November 1946 Liga Arab memberikan rekomendasi pada anggotanya agar mengakui Indonesia sebagai Negara merdeka. Keputusan Liga Arab ini kemudian disampaikan Konjen Mesir di Bombay Abdul Mun’im kepada PM. Syahrir pada bulan Maret 1947.
Hubungan antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat Mesir terjalin cukup lama sejak awal tahun 1900-an, namun pengakuan resmi  Mesir terhadap Republik Indonesia tidaklah terjadi dengan begitu saja . Pengakuan itu melalui proses yang cukup panjang. Setidak-tidaknya terlihat dari jarak waktu antara proklamasi Indonesia 1945, dengan pengakuan Mesir yang terjadi tahun 1947 (Riza Sihbudi)
Pengakuan Liga Arab sudah menjadi modal dasar yang kuat bagi panitia untuk terus menggerakkan lobi-lobinya. Panitia ini megusulkan lagi kepada Sekretariat Liga agar:
1.      Mengirim satu perutusan resmi guna menyampaikan keputusan itu kepada pemerintah RI
2.      Berusaha membawa pembesar-pembesar resmi Indonesia ke luar negeri guna menyuarakan RI di luar negeri.
Kerja keras Panitia Pusat ini telah membuahkan hasil pada tanggal 22 Maret 1946 Mesir mengakui Panitia Pusat sebagai de facto perwakilan RI.Setelah adanya pengakuan tersebut berdatanganlah delegasi Indonesia ke Timur Tengah. Delegasi RI pertama kali ke Mesir tanggal 19 April 1947 dipimpin Menlu H. Agus Salim. Mulusnya delegasi ini menjalankan misinya tak lepas dari peran yang dilakukan oleh panitia pusat di Timur Tengah. Seperti yang dikatakan Agus Salim sendiri “Panitia-panitia Saudara-saudara telah memungkinkan RI dengan resmi keluar memulai perjoangan diplomasi di gelanggang internasional. Sokongan Negara-negara Arab telah berhasil saudara-saudara dapatkan sepenuhnya. Kami mendapati segala sesuatu yang telah selesai. Kedatangan kami seolah-olah hanya untuk menandatangani dokumen-dokumen yang telah saudara-saudara siapkan (M. Zen Hassan)  
 


Berturut-turut datang delegasi yang dipimpin Sutan Syahrir, Moh, Hatta. Pengakuan ini mungkin saja tidak terjadi atau bisa lebih lama lagi dan delegasi-delegasi itu bisa saja mengalami hambatan jika Panitia
 Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia itu tidak gigih meyakinkan petinggi-petinggi Mesir dan Timur Tengah.

Dari Yogyakarta ke Afganistan
Pertengahan tahun 1947 Ismail Banda kembali ke Tanah Air, bekerja pada Departemen Agama, di ibukota Negara waktu itu Yogyakarta. Tidak lama kemudian beliau pindah ke Departemen Luar Negeri.  Selama di Yogyakarta Ismail Banda memberi kuliah di Universitas Islam Indonesia dan mengajar di sekolah-sekolah agama, serta berperan aktif di RRI Yogyakarta memberitakan perjuangan kemerdekaan maupun RRI di Jakarta. Almarhum terkenal sebagai orang yang aktif dan rajin dalam siaran bahasan Arab di  RRI sejak masa revoluasi di Yogyakarta sampai dipindahkannya ke siaran luar negeri RRI di Jakarta. Keluarga RRI merasa kehilangan seorang keluarga, rekan yang ikhlas, ramah, riang dan santun dalam pergaulan.  Beliau juga ia bergaul akrab dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah. Tak berlebihan bila Kahar Muzakkir, sehabat beliau menyebut Ismail Banda sebagai pelopor kemerdekaan. (PB Al Djam’ijatul Washlijah, Peringatan Al Djamijatul Washliyah ¼ Abad, 1956).
Setelah pembukaan perwakilan RI di Mesir, menyusul pembukaan perwakilan RI di Saudi Arabia.  H.M. Rasyidi sebagai wakil resmi RI berangkat ke Saudi bersama Missi Haji RI yang dipimpin Ismail Banda. Untuk pertama kali, pada tanggal 17 Oktober 1948 Ismail Banda ditetapkan sebagai Kepala Perwakilan RI (setingkat kedutaan) di Saudi Arabia yang berkedudukan di Jeddah.  Ismail Banda menurut penuturan M. Zen Hassan telah berangkat ke Mesir untuk membeli peralatan Kedutaan, tetapi aksi Belanda kedua telah melambatkan pelaksanaannya (M. Zen Hassan).


 Mengubah Wacana Jadi Realita
Al Jam’iyatul Wasliyah sebagai sebuah organisasi pergerakan kemerdekaan, dan sudah membuktikan diri mengisi kemerdekaan dibangun oleh tokoh-tokoh yang ikhlas dalam perjuangan. Menjadi suatu kajian yang menarik barangkali terhadap sosok Ismail Banda adalah bahwa didalam negeri beliau telah terbukti mampu menggalang kekuatan pemuda, pelajar sampai akhirnya mendirikan organisasi Al Jam’iyatul Washliyah,  yang sampai saat ini terus berkembang, mengisi pembangunan dan reformasi Indonesia. Kertika ia belajar ke luar negeri, jiwanya tetap terpanggil untuk menggerakkan pemuda-mahasiswa dalam perjuangan merebut kemerdekaan, sampai akhirnya diangkat menjadi kuasa usaha pemerintah Indonesia untuk Afganistan. Allah berkehendak lain dalam usia relatif muda, 41 tahun, dalam menjalankan tugas Negara beliau gugur di Iran.
Sekelumit perjuangan Ismail Banda seperti diuraikan dapat menjadi referensi awal bagi upaya untuk mengubah wacana mem-pahlawannasionalkan-kan Ismail Banda menjadi realita. Kerja keras dan kerja cerdas khususnya bagi warga Al Washliyah dan masyarakat yang memahami kejuangan Ismail Banda sangat dituntut.

Perjuangan beliau telah terbukti, aturan tentang pemberian gelar, tanda jasa, dan kehormatan telah terang benderang. Upaya mengkaji peran dan kejuangan beliau terhadap perebutan dan menjaga kemerdekaan perlu digali lebih dalam lagi. Sudah enam puluh satu tahun jenazah beliau berada di perkuburan Teheran. Kita tidak tahu apakah pusara beliau masih diziarahi, masih dikenali. Sebagai salah satu tokoh yang sudah nyata perjuangannya baik di dalam negeri maupun di luar negeri bagi kemerdekaan Republik Indonesia, maka sudah selayaknyalah bangsa ini memberikan perhatian dan penghargaan terhadap beliau. Teman-teman seperjuangan beliau M. Zen Hassan, Imron Rosyadi, H.M. Jaafar Zainuddin ,Mansur Abu Makarim, Zaidan Abdul Samad, BA. Ubani, H. Hanan Abbas, Muhammad Muin, Haludin Lubis, A.B. Lubis pada tahun 1970 mendapat “Satia Lencana Kemerdekaan”  melalui Surat Keputusan Presiden No. 013/TK/1969.  
                                                                                                            Banten, 28 Desember 2012
============
Penulis adalah Ketua PP. Gerakan Pemuda Al Washliyah (GPA) periode 1997-2003
Bekerja di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta
Tinggal di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten