Kamis, 03 Januari 2013

Kepahlawanan Ismail Banda




Mengenang 61 Tahun Gugurnya Ismail Banda
MENGKAJI WACANA KEPAHLAWANAN ISMAIL BANDA
Oleh: Ridwan Tanjung SH, M.SI
Enam puluh satu tahun yang lalu, tepatnya tanggal 22 Desember 1951, Ismail Banda gugur di Teheran, Iran ketika menjalankan tugas negara sebagai Kuasa Usaha (perwakilan) Negara Indonesia di Afganistan. Pesawat yang membawa beliau bersama pejabat-pejabat penting bangsa lain terjatuh dihantam badai topan di Teheran.
Di organisasi Al Jam’iyatul Washliyah Ismail adalah pendiri. Belum lama ini Pengurus Besar Al Jam’iyatul Washliyah melalui WEB Majelis Sosial membuat publikasi mengusulkan tokoh Ismail Banda untuk dapat ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional. Bagai gayung bersambut, salah satu kandidat Gubernur Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013 - 2018 Chairuman Harahap, yang juga anggota Komisi II DPRRI, menyatakan untuk mendukung idea atau wacana mem-pahlawannasional-kan Ismail Banda (Harian Waspada, 1 Desember 2012)
Adalah hak setiap orang, lembaga negara, organisasi, kelompok masyarakat untuk mengajukan usul pemberian gelar calon pahlawan nasional, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Pahlawan Nasional menurut UU No. 20 Tahun 2009 ini adalah gelar yang diberikan kepada WNI atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan  dan kemajuan bangsa dan Negara Republik Indonesia.
Mengacu kepada UU No. 20 T5ahun 2009, posisi Al Washliyah sudah benar. Sebagai organisasi, sah-sah saja untuk mengusulkan salah satu pendirinya menjadi pahlawan nasional, dan bahkan itu merupakan “kewajiban moral” memprakarsai pengusulan tersebut. 

                                                              Ismail Banda berfoto bersama keluarga menjelang keberangkatan ke Afganistan

 Sekilas tentang Al Washliyah
Al Jam’iyatul Washliyah adalah organisasi sosial, pendidikan dan dakwah, didirikan di Medan pada tanggal 30 November 1930, yang cikal bakalnya berasal dari sebuah kelompok diskusi yang disebut “Debating Club” dibentuk oleh pelajar-pelajar Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT). Kumpulan pelajar ini biasa mendiskusikan dan membahas persoalan-persoalan agama Islam dan masyarakat. Ismail Banda menjadi penasehat dari debating club ini, yang diketuai oleh Abdul Rahman Syihab. Pelajar-pelajar ini rupanya melihat dan merasakan kelompok diskusi saja tidak cukup refresentatif untuk mewujudkan hasil-hasil diskusi dan pembahasan karena dalam perkembangannya mereka tidak hanya mendiskusikan soal-soal agama tapi juga soal-soal politik, soal hak bernegara dan berbangsa. Dari hasil bertukar pikiran, berdiskusi dan berdebat, lahir kesepakatan untuk memperluas kegiatan dari sekedar debating club itu.

Pada tanggal 26 Oktober 1930 dilangsungkanlah suatu pertemuan dengan yang  melibatkan ulama-ulama, guru-guru, pemimpin-pemimpin Islam di Medan. Ismail  Banda menjadi tokoh sentral yang memberikan berbagai advis dalam pertemuan tersebut. Diputuskanlah untuk membentuk sebuah perhimpunan yang bertujuan memajukan, mementingkan, dan menambah tersiarnya Agama Islam. Perhimpunan inilah akhirnya diberi nama Al Jam’iyatul Washliyah, yang artinya perhimpunan yang menghubungkan dan mempertalikan. Susunan Pengurus untuk persiapan ditetapkan Ketua Ismail Banda, Penulis M. Arsyad Thalib Lubis. Untuk pengukuhan organisasi dan memperluas susunan kepengurusan maka pada tanggal 30 November 1930 diadakan pertemuan lanjutan. Ditetapkanlah secara resmi nama organisasi Al Jam’iyatul Washliyah yang pada periode pertama susunan pengurusnya adalah Ketua I: Ismail Banda, Ketua II: Abdul Rahman Syihab, Penulis I: M. Arsyad Thalib Lubis, Penulis II: Adnan Nur, Bendahari H.M. Ja’kub dan penasehat Syech H. Muhammad Yunus (PB Al Djam’ijatul Washlijah, Peringatan Al Djamijatul Washliyah ¼ Abad, 1956). Dari sejak pelajar berdiskusi di debating club sampai mendirikan organisasi Al Jam’iyatul Washliyah, di tengah cengkeraman penjajah Belanda, menunjukkan betapa kuatnya tertanam jiwa kejuangan Ismail Banda untuk hidup merdeka.
 
Sebelum Proklamasi Kemerdekaan
Ismail Banda lahir pada tahun 1910 dari ayah bernama Banda dan ibu Sariani Aminah yang tinggal di Kampung Sei Mati, kemudian berpindah ke Petisah,Medan. Beliau belajar di Madrasah Islamiyah Tapanuli (MIT) selama 5 tahun. Pada tahun 1930, dalam usia yang relatif muda, beliau mendirikan Al Jam’iyatul Washliyah, yang menunjukkan bukti kejuangannya. Perhimpunan Al Washliyah ini pertama kali di Sumatera Utara yang menerapkan model pendidikan modern, yaitu menggunakan system klasikal. Ini memperlihatkan besarnya semangat Al Washliyah melakukan pembaharuan, hidup mandiri dan modern. Pada tahun 1932, setelah mendirikan Al Washliyah untuk pertama kali ia berangkat ke Mekkah dan berlanjut ke Mesir belajar di Al Azhar. Di Mesir selain menimba ilmu pengetahuan, sampai ia mendapat gelar MA, Ismail Banda aktif melakukan pergerakan untuk kemerdekaan. Ini ditandai dengan aktivitasnya  di Jami’ah Chairiyah (Perkumpulan Kebajikan) yang sudah didirikan oleh orang-orang Indonesia di Mesir pada tahun 1923. Jami’ah Chairiyah pada tahun 1933 berubah menjadi Perhimpunan Indonesia Raya, dan pada tahun 1938 berubah lagi menjadi Perhimpunan Pemuda Indonesia Malaya (Perpindom) dan ia menjadi ketua dari perhimpunan ini. Di Perpindom aktivitas Ismail Banda semakin kuat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Guna menyebarluaskan gagasannya Perpindom menerbitkan majalah Suara Al Azhar dan Pilihan Timur yang beredar di Indonesia, yang akhirnya dilarang pemerintah Belanda. Di Mesir ia menjadi koresponden Pewarta Deli yang banyak menyuarakan perjuangan dan pergerakan kemerdekaan. Ismail Banda bersama teman-teman pemuda/mahasiswa memainkan peran diplomatik, melakukan pendekatan dengan petinggi-petinggi Mesir dan Palestina.

Atas inisiatif M. Zen Hassan dibentuk Panitia 6. Ismail Banda yang menjadi Ketua Perpindom menjadi salah satu anggota Panitia 6, yang berkembang menjadi Panitia Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), juga sering disebut Panitia Pusat berkedudukan di Mesir.
Kekalahan Belanda terhadap Jerman pada PD ke II, berakibat terjadinya pendudukan Jepang di Indonesia, dan berdampak buruk pada Belanda. Untuk memperlihatkan pengaruhnya masih tetap kuat di Indonesia, maka pangeran Bernard (suami Ratu Juliana) datang ke Timur Tengah. Harian Le Journal Egypt (koran berbahasa Perancis) yang terbit di Kairo memberitakan bahwa rakyat Indonesia di luar negeri telah menyatakan tekad akan sama-sama rakyat Belanda “membebaskan” Indonesia dari pendudukan Jepang. Berita ini dibantah oleh pemuda, mahasiswa Indonesia di Timur Tengah dengan membuat pernyataan di suara Perpindom.

Pada waktu Jepang menunjukkan gelagat akan kalah melawan sekutu, Jepang memberi kemerdekaan kepada Indonesia pada tahun 1944. Berita ini tersiar sampai ke Timur Tengah, sehingga atas lobbi-lobbi yang dimainkan oleh Ismail Banda dan kawan-kawan berita tersebut langsung direspon Mufti Besar Palestina Amin Al Husaini, yang menyatakan selamat atas kemerdekaan Indonesia. Surat kabar Al ahram dua hari berturut-turut memberitakan kemerdekaan ini (M. Zen Hassan, Diplomasi Revoluasi Indonesia di Luar Negeri, Bulan Bintang, 1980), walaupun kita ketahui itu bukanlah ril kemerdekaan Indoensia. Tetapi gaungnya telah begitu membahana di Timur  Tengah, sampai begitu antusias disambut oleh mufti Palestina.

Pada tahun 1944 itu juga digelar kongres Pan Arab (Liga Arab) di Iskandariyah, Mesir. Ismail Banda dan M. Zen Hassan diutus menjumpai para Menteri Luar Negeri negara-negara Arab yang sedang berkongres tersebut. Mereka membawa nota tuntutan yang isinya:
a.       Pengakuan atas kemerdekaan Indonesia
b.      Jaminan persatuan Indonesia seperti sebelum pendudukan asing dengan tak dibagi-bagi
c.       Ikut serta wakil-wakil Indonesia yang sebenarnya dalam menentukan soal-soal perdamaian sesudah perang
Kata M. Zen Hassan, nota tuntutan inilah (yang dibawanya bersama Ismail Banda) yang telah membuat hubungan-hubungan kami dengan kongres dan tiga tuntutan yang kami majukan telah merintis jalan bagi hubungan dengan Liga Arab dan tuntutan-tuntutan pengakuan de facto dan de jure sesudah proklamasi.


 
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan
Setelah Perang Dunia II berakhir, dan pada tahun 1945 Soekarno - Hatta membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia, yang tentu saja tidak disukai oleh Belanda.  Sadar bahwa pernyataan proklamasi kemerdekaan tidak akan berarti apa-apa jika tidak medapat pengakuan dunia internasional, maka Ismail Banda bersama kawan-kawan di Panitia Pusat, semakin meningkatkan aktivitasnya melakukan lobi-lobbi diplomatik, tidak hanya di Mesir tetapi Negara-negara Timur Tengah. Memperoleh pengakuan inilah yang menjadi tantangan terberat setelah adanya pernyataan kemerdekaan.  Tantangan atau hambatan yang dihadapi Panitia ketika itu adalah ketidaklancaran komunikasi, sehingga tidak mudah untuk menyiarkan berita tersebut secara luas antara lain karena adanya blokade tentara sekutu yang bermaksud mengembalikan kekuasaan Belanda (Riza Sihbudi, Indonesia -Timur Tengah: Masalah dan Prospek, Gema Insani, 1997).   
Diplomasi panitia telah berhasil meyakinkan Mufti Besar Palestina Amin Al Husaini, Muhammad Ali Taher saudagar kaya Palestina. Media-media Timur Tengah gencar memberitakan kemerdekaan Indonesia. Bahkan petinggi-petinggi Mesir , Timur Tengah sengaja membentuk “Panitia Pembela Indonesia”. Dukungan semakin kuat terbukti dari diangkatnya isu Indonesia oleh perwakilan-perwakilan Negara Timur Tengah di lembaga internasional PBB dan Liga Arab. Tugas utama panitia ini adalah mengusahakan pengakuan de facto dan de jure dari Negara-negara Arab bagi kemerdekaan Indonesia. Pada bulan Oktober 1946 panitia tersebut mengadakan Konperensi di Mekkah, dan menyusun program kerja terdiri atas 1) melawan  campur tangan bersenjata Inggris dan menganggap Belanda sebagai pembonceng 2) membebaskan warga Indonesia dari perwalian kedutaan-kedutaan Belanda 3) menunjuk Kairo sebagai pusat panitia-panitia pembela di Timur Tengah. Tanggal 18 November 1946 Liga Arab memberikan rekomendasi pada anggotanya agar mengakui Indonesia sebagai Negara merdeka. Keputusan Liga Arab ini kemudian disampaikan Konjen Mesir di Bombay Abdul Mun’im kepada PM. Syahrir pada bulan Maret 1947.
Hubungan antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat Mesir terjalin cukup lama sejak awal tahun 1900-an, namun pengakuan resmi  Mesir terhadap Republik Indonesia tidaklah terjadi dengan begitu saja . Pengakuan itu melalui proses yang cukup panjang. Setidak-tidaknya terlihat dari jarak waktu antara proklamasi Indonesia 1945, dengan pengakuan Mesir yang terjadi tahun 1947 (Riza Sihbudi)
Pengakuan Liga Arab sudah menjadi modal dasar yang kuat bagi panitia untuk terus menggerakkan lobi-lobinya. Panitia ini megusulkan lagi kepada Sekretariat Liga agar:
1.      Mengirim satu perutusan resmi guna menyampaikan keputusan itu kepada pemerintah RI
2.      Berusaha membawa pembesar-pembesar resmi Indonesia ke luar negeri guna menyuarakan RI di luar negeri.
Kerja keras Panitia Pusat ini telah membuahkan hasil pada tanggal 22 Maret 1946 Mesir mengakui Panitia Pusat sebagai de facto perwakilan RI.Setelah adanya pengakuan tersebut berdatanganlah delegasi Indonesia ke Timur Tengah. Delegasi RI pertama kali ke Mesir tanggal 19 April 1947 dipimpin Menlu H. Agus Salim. Mulusnya delegasi ini menjalankan misinya tak lepas dari peran yang dilakukan oleh panitia pusat di Timur Tengah. Seperti yang dikatakan Agus Salim sendiri “Panitia-panitia Saudara-saudara telah memungkinkan RI dengan resmi keluar memulai perjoangan diplomasi di gelanggang internasional. Sokongan Negara-negara Arab telah berhasil saudara-saudara dapatkan sepenuhnya. Kami mendapati segala sesuatu yang telah selesai. Kedatangan kami seolah-olah hanya untuk menandatangani dokumen-dokumen yang telah saudara-saudara siapkan (M. Zen Hassan)  
 


Berturut-turut datang delegasi yang dipimpin Sutan Syahrir, Moh, Hatta. Pengakuan ini mungkin saja tidak terjadi atau bisa lebih lama lagi dan delegasi-delegasi itu bisa saja mengalami hambatan jika Panitia
 Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia itu tidak gigih meyakinkan petinggi-petinggi Mesir dan Timur Tengah.

Dari Yogyakarta ke Afganistan
Pertengahan tahun 1947 Ismail Banda kembali ke Tanah Air, bekerja pada Departemen Agama, di ibukota Negara waktu itu Yogyakarta. Tidak lama kemudian beliau pindah ke Departemen Luar Negeri.  Selama di Yogyakarta Ismail Banda memberi kuliah di Universitas Islam Indonesia dan mengajar di sekolah-sekolah agama, serta berperan aktif di RRI Yogyakarta memberitakan perjuangan kemerdekaan maupun RRI di Jakarta. Almarhum terkenal sebagai orang yang aktif dan rajin dalam siaran bahasan Arab di  RRI sejak masa revoluasi di Yogyakarta sampai dipindahkannya ke siaran luar negeri RRI di Jakarta. Keluarga RRI merasa kehilangan seorang keluarga, rekan yang ikhlas, ramah, riang dan santun dalam pergaulan.  Beliau juga ia bergaul akrab dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah. Tak berlebihan bila Kahar Muzakkir, sehabat beliau menyebut Ismail Banda sebagai pelopor kemerdekaan. (PB Al Djam’ijatul Washlijah, Peringatan Al Djamijatul Washliyah ¼ Abad, 1956).
Setelah pembukaan perwakilan RI di Mesir, menyusul pembukaan perwakilan RI di Saudi Arabia.  H.M. Rasyidi sebagai wakil resmi RI berangkat ke Saudi bersama Missi Haji RI yang dipimpin Ismail Banda. Untuk pertama kali, pada tanggal 17 Oktober 1948 Ismail Banda ditetapkan sebagai Kepala Perwakilan RI (setingkat kedutaan) di Saudi Arabia yang berkedudukan di Jeddah.  Ismail Banda menurut penuturan M. Zen Hassan telah berangkat ke Mesir untuk membeli peralatan Kedutaan, tetapi aksi Belanda kedua telah melambatkan pelaksanaannya (M. Zen Hassan).


 Mengubah Wacana Jadi Realita
Al Jam’iyatul Wasliyah sebagai sebuah organisasi pergerakan kemerdekaan, dan sudah membuktikan diri mengisi kemerdekaan dibangun oleh tokoh-tokoh yang ikhlas dalam perjuangan. Menjadi suatu kajian yang menarik barangkali terhadap sosok Ismail Banda adalah bahwa didalam negeri beliau telah terbukti mampu menggalang kekuatan pemuda, pelajar sampai akhirnya mendirikan organisasi Al Jam’iyatul Washliyah,  yang sampai saat ini terus berkembang, mengisi pembangunan dan reformasi Indonesia. Kertika ia belajar ke luar negeri, jiwanya tetap terpanggil untuk menggerakkan pemuda-mahasiswa dalam perjuangan merebut kemerdekaan, sampai akhirnya diangkat menjadi kuasa usaha pemerintah Indonesia untuk Afganistan. Allah berkehendak lain dalam usia relatif muda, 41 tahun, dalam menjalankan tugas Negara beliau gugur di Iran.
Sekelumit perjuangan Ismail Banda seperti diuraikan dapat menjadi referensi awal bagi upaya untuk mengubah wacana mem-pahlawannasionalkan-kan Ismail Banda menjadi realita. Kerja keras dan kerja cerdas khususnya bagi warga Al Washliyah dan masyarakat yang memahami kejuangan Ismail Banda sangat dituntut.

Perjuangan beliau telah terbukti, aturan tentang pemberian gelar, tanda jasa, dan kehormatan telah terang benderang. Upaya mengkaji peran dan kejuangan beliau terhadap perebutan dan menjaga kemerdekaan perlu digali lebih dalam lagi. Sudah enam puluh satu tahun jenazah beliau berada di perkuburan Teheran. Kita tidak tahu apakah pusara beliau masih diziarahi, masih dikenali. Sebagai salah satu tokoh yang sudah nyata perjuangannya baik di dalam negeri maupun di luar negeri bagi kemerdekaan Republik Indonesia, maka sudah selayaknyalah bangsa ini memberikan perhatian dan penghargaan terhadap beliau. Teman-teman seperjuangan beliau M. Zen Hassan, Imron Rosyadi, H.M. Jaafar Zainuddin ,Mansur Abu Makarim, Zaidan Abdul Samad, BA. Ubani, H. Hanan Abbas, Muhammad Muin, Haludin Lubis, A.B. Lubis pada tahun 1970 mendapat “Satia Lencana Kemerdekaan”  melalui Surat Keputusan Presiden No. 013/TK/1969.  
                                                                                                            Banten, 28 Desember 2012
============
Penulis adalah Ketua PP. Gerakan Pemuda Al Washliyah (GPA) periode 1997-2003
Bekerja di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta
Tinggal di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten

Tidak ada komentar:

Posting Komentar