Mengenang
61 Tahun Gugurnya Ismail Banda
MENGKAJI
WACANA KEPAHLAWANAN ISMAIL
BANDA
Oleh:
Ridwan Tanjung SH, M.SI
Enam
puluh satu tahun yang lalu, tepatnya tanggal 22 Desember 1951, Ismail Banda
gugur di Teheran, Iran ketika menjalankan tugas negara sebagai Kuasa Usaha
(perwakilan) Negara Indonesia di Afganistan. Pesawat yang membawa beliau
bersama pejabat-pejabat penting bangsa lain terjatuh dihantam badai topan di
Teheran.
Di
organisasi Al Jam’iyatul Washliyah Ismail adalah pendiri. Belum lama ini Pengurus
Besar Al Jam’iyatul Washliyah melalui WEB Majelis Sosial membuat publikasi
mengusulkan tokoh Ismail Banda untuk dapat ditetapkan menjadi Pahlawan
Nasional. Bagai gayung bersambut, salah satu kandidat Gubernur Provinsi
Sumatera Utara Tahun 2013 - 2018 Chairuman Harahap, yang juga anggota Komisi II
DPRRI, menyatakan untuk mendukung idea atau wacana mem-pahlawannasional-kan
Ismail Banda (Harian Waspada, 1
Desember
2012)
Adalah
hak setiap orang, lembaga negara, organisasi, kelompok masyarakat untuk mengajukan
usul pemberian gelar calon pahlawan nasional, sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda
Kehormatan. Pahlawan Nasional menurut UU No. 20 Tahun 2009 ini adalah gelar
yang diberikan kepada WNI atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di
wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara atau yang semasa
hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya
yang luar biasa bagi pembangunan dan
kemajuan bangsa dan Negara Republik Indonesia.
Mengacu
kepada UU No. 20 T5ahun 2009, posisi Al Washliyah sudah benar. Sebagai
organisasi, sah-sah saja untuk mengusulkan salah satu pendirinya menjadi pahlawan
nasional, dan bahkan itu merupakan “kewajiban moral” memprakarsai pengusulan
tersebut.
Ismail Banda berfoto bersama keluarga menjelang keberangkatan ke Afganistan
Sekilas tentang Al Washliyah
Al
Jam’iyatul Washliyah adalah organisasi sosial, pendidikan dan dakwah, didirikan
di Medan pada tanggal 30 November 1930, yang cikal bakalnya berasal dari sebuah
kelompok diskusi yang disebut “Debating
Club” dibentuk oleh pelajar-pelajar Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT).
Kumpulan pelajar ini biasa mendiskusikan dan membahas persoalan-persoalan agama
Islam dan masyarakat. Ismail Banda menjadi penasehat dari debating club ini, yang diketuai oleh Abdul Rahman Syihab.
Pelajar-pelajar ini rupanya melihat dan merasakan kelompok diskusi saja tidak
cukup refresentatif untuk mewujudkan hasil-hasil diskusi dan pembahasan karena dalam
perkembangannya mereka tidak hanya mendiskusikan soal-soal agama tapi juga
soal-soal politik, soal hak bernegara dan berbangsa. Dari hasil bertukar
pikiran, berdiskusi dan berdebat, lahir kesepakatan untuk memperluas kegiatan
dari sekedar debating club itu.
Pada
tanggal 26 Oktober 1930 dilangsungkanlah suatu pertemuan dengan yang melibatkan ulama-ulama, guru-guru,
pemimpin-pemimpin Islam di Medan. Ismail
Banda menjadi tokoh sentral yang memberikan berbagai advis dalam
pertemuan tersebut. Diputuskanlah untuk membentuk sebuah perhimpunan yang
bertujuan memajukan, mementingkan, dan menambah tersiarnya Agama Islam.
Perhimpunan inilah akhirnya diberi nama Al Jam’iyatul Washliyah, yang artinya
perhimpunan yang menghubungkan dan mempertalikan. Susunan Pengurus untuk
persiapan ditetapkan Ketua Ismail Banda, Penulis M. Arsyad Thalib Lubis. Untuk
pengukuhan organisasi dan memperluas susunan kepengurusan maka pada tanggal 30
November 1930 diadakan pertemuan lanjutan. Ditetapkanlah secara resmi nama
organisasi Al Jam’iyatul Washliyah yang pada periode pertama susunan
pengurusnya adalah Ketua I: Ismail Banda, Ketua II: Abdul Rahman Syihab, Penulis
I: M. Arsyad Thalib Lubis, Penulis II: Adnan Nur, Bendahari H.M. Ja’kub dan penasehat
Syech H. Muhammad Yunus (PB Al
Djam’ijatul Washlijah, Peringatan Al Djamijatul Washliyah ¼ Abad, 1956).
Dari sejak pelajar berdiskusi di debating
club sampai mendirikan organisasi Al Jam’iyatul Washliyah, di tengah
cengkeraman penjajah Belanda, menunjukkan betapa kuatnya tertanam jiwa
kejuangan Ismail Banda untuk hidup merdeka.
Sebelum Proklamasi Kemerdekaan
Ismail
Banda lahir pada tahun 1910 dari ayah bernama Banda dan ibu Sariani Aminah yang
tinggal di Kampung Sei Mati, kemudian berpindah ke Petisah,Medan. Beliau
belajar di Madrasah Islamiyah Tapanuli (MIT) selama 5 tahun. Pada tahun 1930,
dalam usia yang relatif muda, beliau mendirikan Al Jam’iyatul Washliyah, yang
menunjukkan bukti kejuangannya. Perhimpunan Al Washliyah ini pertama kali di
Sumatera Utara yang menerapkan model pendidikan modern, yaitu menggunakan
system klasikal. Ini memperlihatkan besarnya semangat Al Washliyah melakukan pembaharuan,
hidup mandiri dan modern. Pada tahun 1932, setelah mendirikan Al Washliyah untuk
pertama kali ia berangkat ke Mekkah dan berlanjut ke Mesir belajar di Al Azhar.
Di Mesir selain menimba ilmu pengetahuan, sampai ia mendapat gelar MA, Ismail
Banda aktif melakukan pergerakan untuk kemerdekaan. Ini ditandai dengan
aktivitasnya di Jami’ah Chairiyah (Perkumpulan Kebajikan) yang sudah didirikan oleh
orang-orang Indonesia di Mesir pada tahun 1923. Jami’ah Chairiyah pada tahun
1933 berubah menjadi Perhimpunan Indonesia Raya, dan pada tahun 1938 berubah
lagi menjadi Perhimpunan Pemuda Indonesia Malaya (Perpindom) dan ia menjadi ketua
dari perhimpunan ini. Di Perpindom aktivitas Ismail Banda semakin kuat dalam
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Guna menyebarluaskan gagasannya Perpindom
menerbitkan majalah Suara Al Azhar dan Pilihan Timur yang beredar di Indonesia,
yang akhirnya dilarang pemerintah Belanda. Di Mesir ia menjadi koresponden
Pewarta Deli yang banyak menyuarakan perjuangan dan pergerakan kemerdekaan.
Ismail Banda bersama teman-teman pemuda/mahasiswa memainkan peran diplomatik, melakukan
pendekatan dengan petinggi-petinggi Mesir dan Palestina.
Atas inisiatif M. Zen Hassan dibentuk
Panitia 6. Ismail Banda yang menjadi Ketua Perpindom menjadi salah satu anggota
Panitia 6, yang berkembang menjadi Panitia Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI), juga sering disebut Panitia Pusat berkedudukan di Mesir.
Kekalahan Belanda terhadap Jerman pada
PD ke II, berakibat terjadinya pendudukan Jepang di Indonesia, dan berdampak buruk
pada Belanda. Untuk memperlihatkan pengaruhnya masih tetap kuat di Indonesia,
maka pangeran Bernard (suami Ratu Juliana) datang ke Timur Tengah. Harian Le
Journal Egypt (koran berbahasa Perancis) yang terbit di Kairo memberitakan bahwa
rakyat Indonesia di luar negeri telah menyatakan tekad akan sama-sama rakyat
Belanda “membebaskan” Indonesia dari pendudukan Jepang. Berita ini dibantah
oleh pemuda, mahasiswa Indonesia di Timur Tengah dengan membuat pernyataan di
suara Perpindom.
Pada waktu Jepang menunjukkan gelagat
akan kalah melawan sekutu, Jepang memberi kemerdekaan kepada Indonesia pada
tahun 1944. Berita ini tersiar sampai ke Timur Tengah, sehingga atas
lobbi-lobbi yang dimainkan oleh Ismail Banda dan kawan-kawan berita tersebut
langsung direspon Mufti Besar Palestina Amin Al Husaini, yang menyatakan
selamat atas kemerdekaan Indonesia. Surat kabar Al ahram dua hari
berturut-turut memberitakan kemerdekaan ini (M. Zen Hassan, Diplomasi Revoluasi Indonesia di Luar Negeri, Bulan Bintang,
1980), walaupun kita ketahui itu bukanlah ril kemerdekaan Indoensia. Tetapi
gaungnya telah begitu membahana di Timur
Tengah, sampai begitu antusias disambut oleh mufti Palestina.
Pada tahun 1944 itu juga digelar kongres
Pan Arab (Liga Arab) di Iskandariyah, Mesir. Ismail Banda dan M. Zen Hassan
diutus menjumpai para Menteri Luar Negeri negara-negara Arab yang sedang
berkongres tersebut. Mereka membawa nota tuntutan yang isinya:
a.
Pengakuan atas
kemerdekaan Indonesia
b.
Jaminan persatuan
Indonesia seperti sebelum pendudukan asing dengan tak dibagi-bagi
c.
Ikut serta wakil-wakil
Indonesia yang sebenarnya dalam menentukan soal-soal perdamaian sesudah perang
Kata M. Zen Hassan, nota tuntutan inilah
(yang dibawanya bersama Ismail Banda)
yang telah membuat hubungan-hubungan kami dengan kongres dan tiga tuntutan yang
kami majukan telah merintis jalan bagi hubungan dengan Liga Arab dan
tuntutan-tuntutan pengakuan de facto
dan de jure sesudah proklamasi.
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan
Setelah
Perang Dunia II berakhir, dan pada tahun 1945 Soekarno - Hatta membacakan teks
proklamasi kemerdekaan Indonesia, yang tentu saja tidak disukai oleh Belanda. Sadar bahwa pernyataan proklamasi kemerdekaan
tidak akan berarti apa-apa jika tidak medapat pengakuan dunia internasional,
maka Ismail Banda bersama kawan-kawan di Panitia Pusat, semakin meningkatkan
aktivitasnya melakukan lobi-lobbi diplomatik, tidak hanya di Mesir tetapi
Negara-negara Timur Tengah. Memperoleh pengakuan inilah yang menjadi tantangan
terberat setelah adanya pernyataan kemerdekaan.
Tantangan atau hambatan yang dihadapi Panitia ketika itu adalah
ketidaklancaran komunikasi, sehingga tidak mudah untuk menyiarkan berita
tersebut secara luas antara lain karena adanya blokade tentara sekutu yang bermaksud
mengembalikan kekuasaan Belanda (Riza
Sihbudi, Indonesia -Timur Tengah:
Masalah dan Prospek, Gema Insani, 1997).
Diplomasi
panitia telah berhasil meyakinkan Mufti Besar Palestina Amin Al Husaini,
Muhammad Ali Taher saudagar kaya Palestina. Media-media Timur Tengah gencar
memberitakan kemerdekaan Indonesia. Bahkan petinggi-petinggi Mesir , Timur
Tengah sengaja membentuk “Panitia Pembela Indonesia”. Dukungan semakin kuat
terbukti dari diangkatnya isu Indonesia oleh perwakilan-perwakilan Negara Timur
Tengah di lembaga internasional PBB dan Liga Arab. Tugas utama panitia ini
adalah mengusahakan pengakuan de facto dan de jure dari Negara-negara Arab bagi
kemerdekaan Indonesia. Pada bulan Oktober 1946 panitia tersebut mengadakan
Konperensi di Mekkah, dan menyusun program kerja terdiri atas 1) melawan campur tangan bersenjata Inggris dan
menganggap Belanda sebagai pembonceng 2) membebaskan warga Indonesia dari
perwalian kedutaan-kedutaan Belanda 3) menunjuk Kairo sebagai pusat
panitia-panitia pembela di Timur Tengah. Tanggal 18 November 1946 Liga Arab
memberikan rekomendasi pada anggotanya agar mengakui Indonesia sebagai Negara
merdeka. Keputusan Liga Arab ini kemudian disampaikan Konjen Mesir di Bombay
Abdul Mun’im kepada PM. Syahrir pada bulan Maret 1947.
Hubungan
antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat Mesir terjalin cukup lama sejak
awal tahun 1900-an, namun pengakuan resmi
Mesir terhadap Republik Indonesia tidaklah terjadi dengan begitu saja .
Pengakuan itu melalui proses yang cukup panjang. Setidak-tidaknya terlihat dari
jarak waktu antara proklamasi Indonesia 1945, dengan pengakuan Mesir yang terjadi
tahun 1947 (Riza Sihbudi)
Pengakuan Liga Arab sudah menjadi modal
dasar yang kuat bagi panitia untuk terus menggerakkan lobi-lobinya. Panitia ini
megusulkan lagi kepada Sekretariat Liga agar:
1.
Mengirim satu perutusan
resmi guna menyampaikan keputusan itu kepada pemerintah RI
2.
Berusaha membawa
pembesar-pembesar resmi Indonesia ke luar negeri guna menyuarakan RI di luar
negeri.
Kerja keras Panitia Pusat ini telah
membuahkan hasil pada tanggal 22 Maret 1946 Mesir mengakui Panitia Pusat
sebagai de facto perwakilan RI.Setelah adanya pengakuan tersebut berdatanganlah
delegasi Indonesia ke Timur Tengah. Delegasi RI pertama kali ke Mesir tanggal
19 April 1947 dipimpin Menlu H. Agus Salim. Mulusnya delegasi ini menjalankan
misinya tak lepas dari peran yang dilakukan oleh panitia pusat di Timur Tengah.
Seperti yang dikatakan Agus Salim sendiri “Panitia-panitia Saudara-saudara
telah memungkinkan RI dengan resmi keluar memulai perjoangan diplomasi di
gelanggang internasional. Sokongan Negara-negara Arab telah berhasil
saudara-saudara dapatkan sepenuhnya. Kami mendapati segala sesuatu yang telah
selesai. Kedatangan kami seolah-olah hanya untuk menandatangani dokumen-dokumen
yang telah saudara-saudara siapkan (M.
Zen Hassan)
Berturut-turut
datang delegasi yang dipimpin Sutan Syahrir, Moh, Hatta. Pengakuan ini mungkin
saja tidak terjadi atau bisa lebih lama lagi dan delegasi-delegasi itu bisa
saja mengalami hambatan jika Panitia
Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia itu
tidak gigih meyakinkan petinggi-petinggi Mesir dan Timur Tengah.
Dari
Yogyakarta ke Afganistan
Pertengahan tahun 1947 Ismail Banda
kembali ke Tanah Air, bekerja pada Departemen Agama, di ibukota Negara waktu
itu Yogyakarta. Tidak lama kemudian beliau pindah ke Departemen Luar
Negeri. Selama di Yogyakarta Ismail
Banda memberi
kuliah di Universitas Islam Indonesia dan mengajar di sekolah-sekolah agama, serta berperan aktif di RRI Yogyakarta memberitakan
perjuangan kemerdekaan maupun RRI di Jakarta. Almarhum terkenal sebagai orang yang aktif dan rajin dalam siaran bahasan Arab
di RRI sejak masa revoluasi di
Yogyakarta sampai dipindahkannya ke siaran luar negeri RRI di Jakarta. Keluarga
RRI merasa kehilangan seorang keluarga, rekan yang ikhlas, ramah, riang dan
santun dalam pergaulan. Beliau juga ia bergaul
akrab dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah. Tak berlebihan bila Kahar Muzakkir,
sehabat beliau menyebut Ismail Banda sebagai pelopor kemerdekaan. (PB Al Djam’ijatul Washlijah, Peringatan Al
Djamijatul Washliyah ¼ Abad, 1956).
Setelah pembukaan perwakilan RI di Mesir,
menyusul pembukaan perwakilan RI di Saudi Arabia. H.M. Rasyidi sebagai wakil resmi RI berangkat
ke Saudi bersama Missi Haji RI yang dipimpin Ismail Banda. Untuk pertama kali, pada
tanggal 17 Oktober 1948 Ismail Banda ditetapkan sebagai
Kepala Perwakilan RI (setingkat kedutaan) di Saudi Arabia yang berkedudukan di
Jeddah. Ismail Banda menurut penuturan
M. Zen Hassan telah berangkat ke Mesir untuk membeli peralatan Kedutaan, tetapi
aksi Belanda kedua telah melambatkan pelaksanaannya (M. Zen Hassan).
Mengubah Wacana Jadi
Realita
Al
Jam’iyatul Wasliyah sebagai sebuah organisasi pergerakan kemerdekaan, dan sudah
membuktikan diri mengisi kemerdekaan dibangun oleh tokoh-tokoh yang ikhlas
dalam perjuangan. Menjadi suatu kajian yang menarik barangkali terhadap sosok
Ismail Banda adalah bahwa didalam negeri beliau telah terbukti mampu menggalang
kekuatan pemuda, pelajar sampai akhirnya mendirikan organisasi Al Jam’iyatul
Washliyah, yang sampai saat ini terus
berkembang, mengisi pembangunan dan reformasi Indonesia. Kertika ia belajar ke
luar negeri, jiwanya tetap terpanggil untuk menggerakkan pemuda-mahasiswa dalam
perjuangan merebut kemerdekaan, sampai akhirnya diangkat menjadi kuasa usaha
pemerintah Indonesia untuk Afganistan. Allah berkehendak lain dalam usia
relatif muda, 41 tahun, dalam menjalankan tugas Negara beliau gugur di Iran.
Sekelumit
perjuangan Ismail Banda seperti diuraikan dapat menjadi referensi awal bagi
upaya untuk mengubah wacana mem-pahlawannasionalkan-kan Ismail Banda menjadi
realita. Kerja keras dan kerja cerdas khususnya bagi warga Al Washliyah dan
masyarakat yang memahami kejuangan Ismail Banda sangat dituntut.
Perjuangan
beliau telah terbukti, aturan tentang pemberian gelar, tanda jasa, dan
kehormatan telah terang benderang. Upaya mengkaji peran dan kejuangan beliau
terhadap perebutan dan menjaga kemerdekaan perlu digali lebih dalam lagi. Sudah
enam puluh satu tahun jenazah beliau berada di perkuburan Teheran. Kita tidak
tahu apakah pusara beliau masih diziarahi, masih dikenali. Sebagai salah satu
tokoh yang sudah nyata perjuangannya baik di dalam negeri maupun di luar negeri
bagi kemerdekaan Republik Indonesia, maka sudah selayaknyalah bangsa ini memberikan
perhatian dan penghargaan terhadap beliau. Teman-teman seperjuangan beliau M.
Zen Hassan, Imron Rosyadi, H.M. Jaafar Zainuddin ,Mansur Abu Makarim, Zaidan
Abdul Samad, BA. Ubani, H. Hanan Abbas, Muhammad Muin, Haludin Lubis, A.B.
Lubis pada tahun 1970 mendapat “Satia Lencana Kemerdekaan” melalui Surat Keputusan Presiden No.
013/TK/1969.
Banten,
28 Desember 2012
============
Penulis adalah Ketua
PP. Gerakan Pemuda Al Washliyah (GPA) periode
1997-2003
Bekerja di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta
Tinggal di Pamulang,
Tangerang Selatan, Banten
Tidak ada komentar:
Posting Komentar