Selasa, 27 Agustus 2013

SPM Pendidikan Dasar

MEMAHAMI STANDAR PELAYANAN MINIMAL
BIDANG PENDIDIKAN

Oleh : Ridwan Tanjung *)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 18 ayat 5 menyatakan bahwa Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat. Ketentuan ini memberi penegasan bahwa Negara RI menganut prinsip pembagian pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi, yang  dengan prinsip tersebut diakui adanya pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan daerah otonom (Pemerintah provinsi dan Pemerintah kabupaten/kota). Masih adanya urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah, hal tersebut berkaitan dengan penjaminan kelangsungan hidup bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.  

Sebagai implementasi ketentuan UUD 1945 tersebut diundangkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang antara lain mengatur mengenai pembagian urusan pemerintahan.  Ada 6 urusan yang tetap menjadi urusan pemerintah atau tidak menjadi urusan wajib di daerah (provinsi, kabupaten/kota) yaitu bidang (1) politik luar negeri, (2) pertahanan,  (3) keamanan, (4) peradilan, (5) moneter dan fiskal, dan (6) agama. Di luar keenam bidang ini, maka berbagai bidang layanan masyarakat menjadi urusan wajib daerah. Pendidikan adalah salah satu bidang yang menjadi urusan wajib kabupaten/kota. Lebih lanjut  pembagian kewenangan yang menjadi urusan wajib pemerintah daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/KotaUrusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan.

Sebelum adanya PP No. 38 Tahun 2007 telah ditetapkan PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM), yang antara lain menyebutkan bahwa untuk menjalankan urusan wajib yang didesentralisasikan, pemerintah kabupaten/kota mengacu pada SPM yang ditetapkan Pemerintah. Berdasarkan PP No. 65 Tahun 2005 ini, Pemerintah wajib menyusun SPM untuk urusan wajib pemerintahan yang merupakan pelayanan dasar yang pelaksanaannya akan dilakukan secara bertahap. SPM adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal.

Mengacu pada PP No. 65 Tahun 2005, maka jelaslah bahwa SPM harus menjadi tolok ukur untuk menilai keberhasilan atau kegagalan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menjalankan tugas dan fungsinya,  karena SPM telah ditetapkan sebagai standar, ukuran bagi terpenuhi atau tidak terpenuhinya pemberian layanan dasar (minimal) kepada masyarakat. Artinya kalau masyarakat sudah merasa terlayani hak-hak yang harus diperolehnya, maka itu menunjukkan keberhasilan kinerja pemerintah daerah.   

SPM Bidang Pendidikan

Berkaitan dengan upaya pemenuhan layanan dasar bidang pendidikan, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 51 ayat 1 menyatakan bahwa pengelolaan pendidikan usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan Standar Pelayanan Minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah (MBS).  Salah satu pertimbangan hukum diundangkannya UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 adalah ketentuan pasal 28C UUD 1945 ayat 1 yang menyebutkan setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.  

Dibandingkan dengan bidang-bidang lain yang menjadi urusan wajib daerah, tampak bahwa UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 inilah yang dengan tegas menyatakan bahwa pengelolaan pendidikan (persekolahan) didasarkan kepada SPM dengan prinsip MBS. Lihat saja UU mengenai kehutanan, sosial, koperasi, kesehatan tidak secara tegas menyatakan bahwa pengelolaan bidang-bidang tersebut didasarkan kepada SPM.

Kalau PP No. 65 tahun 2005 dan PP  No. 38 Tahun 2007 merupakan pelaksanaan dari UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,  maka UU No. 20 Tahun 2003 yang lebih duluan lahir dari UU No. 32 Tahun 2004, merupakan pelaksanaan UUD 1945 dan memperhatikan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (sebelum diganti dengan UU No. 32/2004).  Ini menunjukkan bahwa kebijakan SPM setidaknya telah diperkenalkan sejak dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian ditindaklanjuti dengan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Provinsi sebagai Daerah Otonom, yang di dalamnya mengatur antara lain mengenai desentralisasi bidang pendidikan dan kebudayaan.

Bidang-bidang yang menjadi urusan wajib berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 meliputi juga bidang-bidang yang diatentukan dalam UU No. 22 Tahun 1999. Disebutkan dalam Pasal 11 ayat 4 UU No. 32 Tahun 2004 bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah.

Implementasi SPM Bidang Pendidikan Dasar

Dalam perjalanannya UU No. 22 Tahun 1999 diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang diikuti dengan ditetapkannya PP No. 65 Tahun 2005 dan PP No. 38 Tahun 2007. Di dalam pasal 11 ayat 2 UU No. 22 tahun 1999 dinyatakan  bahwa  bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja. Sedangkan di dalam pasal 14 UU No. 34 Tahun 2004 ditentukan ada 16 bidang pemerintahan yang menjadi urusan wajib pemerintah kabupaten/kota. Dua bidang diantaranya yang adalah (1) bidang perencanaan dan pengendalian,  dan (2) bidang pendidikan. Mengapa dua bidang ini menjadi perhatian karena perencanaan pembangunan akan menyangkut semua hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan bidang pendidikan menjadi topic yang ingin didalami.

Dilihat dari waktu diperkenalkannya SPM, maka bidang pendidikan dapat dikatakan paling duluan mempunyai komitmen untuk menerapkan SPM di dalam sistem layanan pendidikan. Setelah di atur dalam UU No. 20 Tahun 2003, maka pada tahun 2004 Departemen Pendidikan Nasional menerbitkan Keputusan Mendiknas No. 129a/2004 tentang SPM Bidang Pendidikan yang mencakup semua jenjang persekolahan (Dikdasmen dan PAUD). Substansi Keputusan ini meliputi peserta didik, sarana prasarana, tenaga kependidikan. Secara rinci standar capaian keberhasilan SPM jenjang SD ditetapkan sebagai berikut:

1.      95 persen anak dalam kelompok usia 7-12 tahun bersekolah di SD/MI.
2.      Angka Putus Sekolah (APS) tidak melebihi 1 persen dari jumlah siswa yang bersekolah.
3.      90 persen sekolah memiliki sarana dan prasarana minimal sesuai dengan standar teknis yang ditetapkan secara nasional.
4.      90 persen dari jumlah guru SD yang diperlukan terpenuhi.
5.      90 persen guru SD/MI memiliki kualifikasi sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan secara nasional .
6.      95 persen siswa memiliki buku pelajaran yang lengkap setiap mata pelajaran.
7.      Jumlah siswa SD/MI per kelas antara 30 - 40 siswa.
8.      90 persen dari siswa yang mengikuti uji sampel mutu pendidikan standar nasional mencapai nilai “memuaskan” dalam mata pelajaran membaca, menulis dan berhitung untuk kelas III dan mata pelajaran bahasa, matematika, IPA dan IPS untuk kelas V.
9.      95 persen dari lulusan SD melanjutkan ke SMP/Madrasah Tsanawiyah (MTs).

SPM untuk jenjang SMP/MTs adalah:

1.      90 persen anak dalam kelompok usia 13 -15 tahun bersekolah di SMP/MTs.
2.      Angka Putus Sekolah (APS) tidak melebihi 1 persen dari jumlah siswa yang ber-sekolah.
3.      90 persen sekolah memiliki sarana dan prasarana minimal sesuai dengan standar teknis yang di-tetapkan secara nasional.
4.      80 persen sekolah memiliki tenaga kependidikan non guru untuk melaksanakan tugas administrasi dan kegiatan non mengajar lainnya.
5.      90 persen dari jumlah guru SMP yang diperlukan terpenuhi.
6.      90 persen guru SMP/MTs memiliki kualifikasi, sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan secara nasional.
7.      100 persen siswa memiliki buku pelajaran yang lengkap setiap mata pelajaran.
8.      Jumlah siswa SMP/MTs per kelas antara 30 – 40 siswa.
9.      90 persen dari siswa yang mengikuti uji sampel mutu pendidikan standar nasional mencapai nilai “memuaskan” dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA, dan IPS di kelas I dan II.
10.  70 persen dari lulusan SMP/ MTs melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA)/ Madrasah Aliyah (MA)/ Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Sampai saat ini UU  No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas sudah berusia10 tahun. Ini artinya perintah untuk menjadikan SPM sebagai acuan dalam pengelolaan satuan pendidikan sudah berumur 10 tahun pula. Seharusnya perencanaan dan pengelolaan pendidikan sudah mengacu kepada SPM tersebut. Namun tidak ada suatu dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai hasil evaluasi dari penerapan SPM bidang pendidikan sejak dikeluarkannya Keputusan Mendiknas No.  129a/2004 tentang SPM Bidang Pendidikan, sehingga tidak diketahui hasil yang telah dicapai dari pelaksanaan SPM tersebut. Ada dua kemungkinan yaitu, (1) tidak dilakukan evaluasi; (2) sudah dilakukan evaluasi tetapi dipandang tidak begitu penting untuk dipublikasikan/didokumentasikan. Kemungkinan mana pun yang terjadi kedua-duanya sama saja dengan memandang penting kehadiran Keputusan Mendiknas No. 129a/2004 tersebut. Kelemahan dari Permendiknas No. 129a/2004 juga terletak dari tidak ada ketentuan yang membatasi sampai tahun berapa standar itu harus dicapai. Lebih lanjut ini menunjukkan bahwa SPM belumlah menjadi acuan untuk perencanaan dan pengelolaan pendidikan.

Kini setelah adanya PP No. 65 Tahun 2005 yang memberikan pedoman penyusunan SPM berbagai bidang untuk pelayanan dasar tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 15 Tahun 2010 yang kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 23 Tahun 2013. Kedua Peraturan Menteri ini secara substansi relatif tidak berbeda, sehingga peraturan yang mana pun dapat saja digunakan sebagai dasar perencanaan pendidikan. Secara umum SPM pendidikan dasar memuat ketentuan mengenai sarana prasarana, ketenagaan, kurikulum, penjaminan mutu pendidikan, dan perencanaan pendidikan. Ada 27 indikator yang harus dicapai dalam rangka pemenuhan layanan dasar bidang pendidikan dasar yang meliputi (1) sebanyak 14 indikator yang menjadi tanggung-jawab langsung Pemerintah Kabupaten/Kota yang menjadi tugas pokok dan fungsi dinas pendidikan untuk sekolah atau Kantor Kementerian Agama untuk madrasah; dan (2) 13 indikator yang menjadi tanggung-jawab tidak langsung Pemerintah Kabupaten/Kota c/q Dinas Pendidikan dan Kantor Kementerian Agama, karena layanan diberikan oleh pihak sekolah dan madrasah, para guru dan tenaga kependidikan, dengan dukungan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan Kantor Kementerian Agama. Di Petunjuk Teknis SPM yang merupakan lampiran dari Permendikbud No. 23 Tahun 2013 dirinci apa saja yang menjadi  tanggungjawab Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menyelenggarakan layanan pendidikan dan berbagai hal yang harus disediakan dan dilakukan oleh dinas pendidikan, sekolah/madrasah guna memastikan bahwa layanan pendidikan bisa berjalan dengan baik. Dari aspek sarana prasarana ditentukan, misalnya pada indikator ke tiga; di setiap SMP dan MTs tersedia ruang laboratorium IPA yang dilengkapi dengan meja dan kursi yang cukup untuk 36 peserta didik dan minimal satu set peralatan praktek IPA untuk demonstrasi dan eksperimen peserta didik, Dari aspek ketenagaan misalnya, indikator kelima; di setiap SD/MI tersedia 1 (satu) orang guru untuk setiap 32 peserta didik dan 6 (enam) orang guru untuk setiap satuan pendidikan, dan untuk daerah khusus 4 (empat) orang guru setiap satuan pendidikan, indikator keenam; di setiap SMP/MTs tersedia 1 (satu) orang guru untuk setiap mata pelajaran, dan untuk daerah khusus tersedia satu orang guru untuk setiap rumpun mata pelajaran, indikator ketujuh; di setiap SD/MI tersedia 2 (dua) orang guru yang memenuhi kualifikasi akademik S1 atau D-IV dan 2 (dua) orang guru yang telah memiliki sertifikat pendidik. Dari aspek perecanaan, indikator ke tiga belas; pemerintah kabupaten/kota memiliki rencana dan melaksanakan kegiatan untuk membantu satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum dan proses pembelajaran yang efektif.  Ini semua menjadi tanggung jawab langsung Pemerintah Kabupaten/Kota.

Indikator-indikator yang menjadi tanggung jawab tidak langsung atau dapat dilakukan melalui sekolah. Dari aspek sarana/peralatan pendidikan misalnya indikator kesatu; setiap SD/MI menyediakan buku teks yang sudah ditetapkan kelayakannya oleh Pemerintah mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan Pendidikan Kewarganegaraan, dengan perbandingan satu set untuk setiap peserta didik, indikator kedua; setiap SMP/MTs menyediakan buku teks yang sudah ditetapkan kelayakannya oleh Pemerintah mencakup semua mata pelajaran dengan perbandingan satu set untuk setiap perserta didik, indikator kelima. Dari aspek waktu mengajar; setiap guru tetap bekerja 37,5 jam per minggu di satuan pendidikan, termasuk merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing atau melatih peserta didik, dan melaksanakan tugas tambahan. Dari aspek pengelolaan, Indikator ke tiga belas; setiap satuan pendidikan menerapkan prinsip-prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS). Ini dapat dilakukan dan memang secara langsung ada pada diri sekolah (kepala sekolah dan guru).

Dalam rangka percepatan implementasi SPM di kabupaten/kota, Kementerian Dalam Negeri telah menerbitkan Surat Edaran (SE) No. 100/676/SJ/2010 tentang Percepatan Pelaksanaan SPM. SE  yang ditujukan kepada semua Gubernur, DPRD Provinsi, semua Bupati/Walikota, DPRD Kab/kota ini menegaskan bahwa pencapaian SPM harus tercermin dalam perangkat perencanaan daerah, RPMJD, Restra. 

Barangkali perlu dicermati apakah ketika Musrengbangda yang kemudian dibawa ke Musrengbangnas Pemerintah Daerah sudah menyusun perencanaan daerah dengan mengacu kepada SPM. Dari sinilah kita bisa menyatakan bahwa sesuatu daerah telah atau belum memiliki komitmen untuk menerapkan standar yang telah ditentukan dalam menyusun perencanaan pembangunan di daerah, yang lebih lanjut akan teruji komitmennya untuk memberikan pelayanan yang terukur bagi masyarakatnya. Khusus untuk bidang pendidikan perlu dilakukan pemetaan terhadap kinerja layanan Dinas Pendidikan/Kantor Kemenag serta sekolah-sekolah (SD/MI dan SMP/MTs). Dari pemetaan tersebut akan dapat diketahui kinerja mana yang belum mencapai SPM dan kinerja mana yang sudah mencapai SPM. Kemudian berdasarkan data yang telah dikumpulkan, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Kantor Kemenag perlu menganalisis pencapaian masing-masing indikator yang tercantum dalam SPM bidang pendidikan.
                                   
*)  Penulis:
Perekayasa Madya pada Sekretariat Ditjen Pendidikan Dasar

KEMDIKBUD

Rabu, 09 Januari 2013

SE 39 Tahun 2012



Category: Asia
Published on Tuesday, 08 January 2013 17:39
Written by Miraj News (afta)
Hits: 60
http://www.mirajnews.com/images/madrasah.jpg       
Jakarta, 27 Shafar 1434/8 Januari 2013 (MINA) –Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi menegaskan bahwa tidak pernah ada larangan bagi Pemerintah Daerah (Pemda) untuk memberikan bantuan kepada madrasah melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
       Mendagri menjawab polemik yang kurang pas itu seperti pernah disampaikan dalam Surat Edaran (SE) Mendagri 903/5361/SJ tertanggal 28 Desember 2012 lalu, tentang Bantuan APBD kepada Madrasah, tidak ada satu kata pun terkait pelarangan.      
 “Tidak pernah ada larangan sekolah dapat anggaran. Tidak hanya madrasah, bantuan Pemda boleh untuk lembaga pendidikan lainnya,” ujar Mendagri Gamawan Fauzi, dalam pernyataan Sekretariat Kabinet RI, kemarin.
      Merujuk pada UU Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, lanjut Mendagri, pembiayaan pendidikan tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat.
 
      Karena itu, madrasah sebagai lembaga pendidikan, pada prinsipnya dapat memperoleh bantuan pendanaan dari Pemda, termasuk yang bersumber dari APBD, katanya.
      Menurut Mendagri, Surat Edaran Nomor 39 tahun 2012 yang dipermasalahkan tentang Perubahan atas Peraturan Mendagri Nomor 32 tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari APBD.
      Permendagri Nomor 39 Tahun 2012 merupakan revisi atas Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial dari APBD, sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengatur penggunaan dana APBD untuk membantu madrasah.
      “Tidak ada aturan dalam bentuk Permendagri yang melarang bantuan untuk madrasah. Permendagri itu sama sekali tidak melarang pemberian hibah untuk madrasah," kata Gamawan.
      Mendagri Gamawan menjelaskan Permendagri Nomor 39 Tahun 2012 hanya mengatur kriteria pemberian hibah yang sifatnya tidak wajib, tidak mengikat, serta tidak terus-terusan diberikan setiap tahun anggaran.
      "Justru Pemda dapat mendanai kegiatan proses belajar mengajar pada sekolah-sekolah yang dikelola masyarakat. Termasuk yang berbasis keagamaan seperti Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD), Madrasah Tsanawiyah (SMP) dan Madrasah Aliyah (SMA). Jadi tidak ada edaran yang melarang hibah untuk madrasah," tegasnya.
      Sebelumnya memang sempat beredar berita beberapa pihak mengeluhkan kebijakan Mendagri yang melarang alokasi APBD untuk membantu madrasah. Sejumlah daerah yang tengah menyusun RAPBD 2013, mengeluhkan kebijakan Mendagri yang disebut dalam bentuk Surat Edaran itu.
Tidak Tumpang Tindih
      Direktur Pondok Pesantren Depag RI, Ace Saefuddin mengatakan, sampai saat ini tak ada bentuk larangan Pemerintah Daerah membantu dana untuk madrasah di seluruh Indonesia, termasuk Menteri Dalam Negeri melalui surat edarannya.
 
      “Setelah diteliti, tidak ada aturannya. Bahkan surat edaran dari Mendagri pun tidak ditemukan,” kata Ace Saefuddin di Serang, Banteng, Senin (7/1).
Ia menjelaskan, Permendagri Nomor 39 tahun 2012 tentang pemberian hibah dan bantuan sosial yang bersumber dari APBD, dan ditanda tangani Mendagri Gumawan Fauzi tanggal 21 Mei 2012 tak menyebut tentang larangan itu. Yang ada adalah pengaturan tentang bantuan dari APBD agar tidak tumpang tindih.
 
      “Jadi, dengan demikian tak ada larangan bantuan bagi Pemda untuk membantu setiap madrasah di daerahnya masing-masing,” tandasnya.
      Ia menambahkan, bahkan Pemda Jatim, Jabar, dan Banten sudah bersepakat akan mengeluarkan regulasi untuk memberikan bantuan kepada madrasah. Madrasah adalah salah satu institusi pendidikan yang didirikan masyarakat atau swasta. Kebanyakan ditangani para kyai.
 
      Sebelumya, Menteri Agama Suryadharma Ali pada Hari Amal Bakti (HAB) Kementerian Agama ke-67 di Padang, Ahad (6/1) mengimbau seluruh Pemda untuk bekerjasama meningkatkan program pendidikan keagamaan, termasuk memberikan dana dari APBD. Dengan demikian tidak ada diskriminasi bagi lembaga pendidikan agama seperti madrasah. (T/R-015/R-005)

Jumat, 04 Januari 2013

Dinamika politik




Sekilas Dinamika Politik Al Washliyah

Oleh : Ridwan Tanjung, SH, M. Si


Sepanjang sejarah organisasi Al Washliyah, dari zaman pra kemerdekaan, awal kemerdekaan, dan masa merdeka, pengurus dan anggota-anggota Al Washliyah telah terlibat dalam kehidupan berpolitik, baik itu sebagai anggota maupun simpatisan partai. Pada pra kemerdekaan, tahun 1937 ketika berdiri Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) di Surabaya, diprakarsai oleh Hasbullah Wahab (NU), Mas Mansur (Muhammadiyah) Ahmad Dahlan  dan Wondoamiseno, yang merupakan federasi ormas-ormas Islam untuk membuka ruang yang lebih terbuka dalam memperhatikan dan melayani urusan sosial umat Islam, dan sesungguhnya juga bidang politik. Al Washliyah menjadi salah satu organisasi yang mendukung MIAI. Generasi pertama pengurus Al Washliyah seperti H. Abdul Rahman Syihab, H. Arsyad Thalib Lubis, adalah tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan yang tidak saja sebagai ulama tetapi juga menjadi tokoh politik.  Tak bisa dipungkiri karena keulamaannya dan kemampuan berpolitiknyalah Abdul Rahman Syihab dipilih menjadi ketua komisi untuk penyebaran Islam pada kongres MIAI tahun 1941 di Solo.  Salah satu butir putusan MIAI pada kongresnya itu adalah menugaskan kepada Al Washliyah supaya  mengusahakan berdirinya central zending Islam di Indonesia, dengan menyampaikan hasil-hasilnya kepada dewan MIAI. Putusan lain dari MIAI yang menampakkan perannya dalam bidang politik adalah menuntut pembebasan Haji Rasul (ayah Hamka) dari penahanan Belanda, penolakan terhadap wajib militer atau milisi, menuntut Indonesia berparlemen, dan lain sebagainya. MIAI akhirnya dibubarkan oleh penjajah Jepang , karena dianggap tidak mendukung pemerintahannya (Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, 1990)

Pada awal kemerdekaan, November 1945 berdiri Partai Masyumi. Al Washliyah secara organisasi bersama banyak organisasi Islam lainnya seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU), PSII, Persis menjadi pendukung (anderbouw) dari partai yang dianggap sebagai penerus dari MIAI. Pada saat itu Masyumi mengambil posisi sebagai satu-satunya partai Islam, karena memang didukung oleh banyak organisasi dan bahkan partai Islam yang sebelumnya ada, seperti PSII. Namun ini tidak berlangsung lama karena PSII dan NU menarik diri dari Masyumi dan menjadi partai sendiri. Suatu hal yang perlu dicatat bahwa ketika mengetahui  NU menarik diri dari Masyumi, Al Washliyah menunjukkan sikap keprihatinan dengan mengirimkan surat kawat kepada panitia kongres NU di Palembang agar tidak menarik diri dulu dan membicarakan hal itu dalam muktamar Masyumi dan mengutus Abdul Rahman Syihab menemui DPP Masyumi di Jakarta. Partai Masyumipun akhirnya dibubarkan oleh Bung Karno 

Sejak awal kemerdekaan sampai dibubarkannya, dapat dikatakan Masyumi menjadi partainya Al Washliyah. Setiap kepala orang Al Washliyah seolah ”berstempel” Masyumi. Keterikatan yang erat antara Al Washliyah dengan Masyumi menjadi lebih kentara ketika menghadapi pemilu 1955.  PB. Al Washliyah mengeluarkan fatwa agar semua anggota Al Washliyah memilih Partai masyumi. Fatwa ini tidak pernah mendapatkan tantangan, berjalan tanpa protes. Suatu situasi yang menggambarkan betapa solidnya kebersamaan di tubuh Al Washliyah.

Kalau Masyumi penerus MIAI, maka setelah Masyumi bubar, boleh dikatakan partai Islam ini dilanjutkan oleh Partai Musliman Indonesia (Parmusi). Logika ini cukup beralasan, karena bila ditelusuri MIAI adalah federasi dari berbagai organisasi Islam, sama halnya dengan Masyumi. Demikian pula ketika pembentukan awal Parmusi, nuansa ke-Masyumi-an terlihat begitu kental. Andaikata saja Soeharto melalui Alamsyah Ratuperwira Negara tidak mengintervensi, maka Muh. Roem tokoh Masyumi akan terpilih sebagai ketua umum pertama Parmusi. Nasib Parmusi sebagai partai politik juga sama dengan partai-partai Islam sebelumnya, karena harus dimerger (fusi) bersama-sama dengan Perti, PSII ke dalam PPP melalui tangan Pemerintah Orde Baru. 

Paling menarik adalah Al  Washliyah tetap menjadi peturut setia dari ”reinkarnasi” partai-partai Islam, karena Washliyah pun berafiliasi kepada Parmusi. Jaelani Naro yang tiba-tiba di-”Washliyahkan” muncul menjadi ketua umum Parmusi melalui ”kudeta” pada tahun 1970.   Suatu akrobatik politik yang sesungguhnya tak begitu menggembirakan bagi sebagian besar kalangan Al Washliyah, karena Jaelani Naro tak punya riwayat organisatoris di Al Washliyah dan terkesan dipaksakan untuk menjadi orang washliyah. Ini perlu menjadi cacatan sejarah bagi gerak dinamika politik Al Washliyah, karena di tengah ketidaksimpatikan sebagian besar kalangan Al Washliyah terhadap akrobatik politik yang dilakukan Naro, justru ini sedikit banyak memberikan stimulus bagi Pengurus PP. GPA untuk berkiprah ke Jakarta, yang sebelumnya berdomisili di Medan. Keberhasilan A. Muis A.Y (almarhum), Ketua PP. GPA menjadi anggota DPR-RI pada Pemilu 1982, saya kira merupakan dampak dari di-Washliyah-kannya Naro, karena Naro dalam waktu singkat punya kekuasaan yang tinggi di PPP untuk menempatkan siapa saja yang dia inginkan menjadi anggota DPR-RI terutama dari unsur Parmusi.

Secara historis sejak pra kemerdekaan hingga Orde Baru partisipasi politik Al Washliyah tampak berjalan linear, berkutit dalam partai-partai Islam (MIAI, Masyumi, Parmusi). Adanya partisipasi di luar itu, seperti adanya pengurus dan anggota Al Washliyah yang masuk menjadi anggota Golkar atau PDI dipandang sebagai sebuah pengingkaran terhadap mainstreams Al Washliyah. Fathi Dahlan, dari unsur PB. Al Washliyah waktu itu, dianggap keluar mainstream itu, karena dia menjadi anggota legislatif dari Golkar. Pengingkaran yang paling tragis adalah ketika muncul organisasi yang bernama ”Al Washliyah 30” yang ingin membawa Al Washliyah ke Gerbong Golkar. Tragedi ini berjalan cukup lama, yang mengakibatkan terjadi tarik menarik massa, di tubuh Al Washliyah karena adanya benturan kepentingan.

Ephoria Reformasi

Era reformasi  telah dimanfaatkan dengan antusias oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia untuk mengaktualisasikan hak, pikiran, ide, dan naluri politik melalui kotak yang bernama partai politik yang dijamin oleh konstitusi. Partai politik tumbuh dengan subur dan telah menginspirasi pengurus dan anggota-anggota Al Washliyah masuk menjadi anggota berbagai partai politik tersebut. Begitu banyak partai politik,  membuat banyak pilihan bagi pengurus dan anggota-anggota Al Washliyah untuk aktif di dalamnya. Ada yang di PPP, Golkar, PBB, PKB, PKNU, Demokrat, Hanura, Barisan Nasional, PKS, PAN dan sebagainya. Bahkan dengan mudah berganti-ganti partai, karena itu sah-sah saja dilakukan.  Fenomena gonta-ganti partai ini menjadi menarik karena dicontohkan sendiri oleh Ketua Umum PB. Al Washliyah, Azidin (1997-2010 ?). Sepertinya lima tahun sekali ganti partai, pernah di Golkar, PKB, Demokrat dan terakhir  di Partai Hanura. Demikian juga Yusuf Pardamean, pernah menjadi anggota Parmusi/PPP, kemudian PUI, Demokrat, dan di Barisan Nasional. Tipikal semacam inipun tentu masih ada selain mereka, karena seorang Azidin rasanya tidak mungkin tidak mengajak orang yang seide dengannya untuk ikut kemana dia berpolitik. Ini hanya untuk menyebut dua nama saja dari PB. Al Washliyah yang betul-betul ”menikmati” ephoria demokrasi dan juga mungkin memanfaatkan kelonggaran aturan main di Al Washliyah. Saya mengatakan kelonggaran aturan main, karena organisasi semacam Muhammadiyah dan NU tidak pernah menempatkan ketua umumnya menjadi anggota partai politik, kalau hendak berpolitik praktis mundur dulu dari ketua umum. 

Partai sesungguhnya adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai kepentingan, yang tujuan ”sucinya” untuk memberikan kesejahteraan kepada seluruh rakyat. Dalam konsep yang demikian, keterlibatan dalam partai adalah sebuah pilihan yang mulia. Terlibat dalam partai kemudian menjadi anggota legislatif yang diusung partainya atau dalam jabatan eksekutif  itu merupakan  amanah rakyat. Ketika semua calon anggota legislatif menjadikan kesejahteraan rakyat dan peningkatan kualitas pendidikan sebagai sasaran utama yang akan diwujudkannya, maka strategi yang digunakan untuk meraih dukungan jangan sampai justru mengakibatkan benturan-benturan di berbagai lapisan masyarakat. Benturan dalam masyarakat umum apa lagi dalam komunitas masyarakat tertentu yang sudah punya label sendiri (seperti komunitas Al Washliyah), maka partai sesungguhnya tidak mempunyai keterikatan untuk menyelesaikan benturan tersebut.

Ini juga yang harus kita katakan kepada para pengurus dan semua warga Al Washliyah, yang telah menentukan pilihannya, apa itu di dalam partai yang sama, apa lagi di partai yang berbeda. Energi politik warga Al Washliyah akan terkuras pada pesta demokrasi melalui pemilukada (pemilihan umum kepala daerah) yang berlangsung di berbagai daerah, termasuk dalam waktu dekat pemilihan Gubernur Sumatera Utara (basis Al Washliyah). Heterogenitas sikap warga Al Washliyah dalam pilihan partai adalah sebuah kenyataan, yang menandakan bahwa saat ini sudah sangat terbuka peluang untuk bermain dan menyalurkan aspirasi politik melalui partai politik apa saja maupun memilih calon Kepala Daerah yang tidak melalui jalur partai. Komunitas Al Washliyah tersebar di berbagai daerah Indonesia, bahkan sampai di pelosok-pelosok wilayah terutama di Sumatera. Kandidat kepala daerah yang akan berkompetisi akan berupaya mendulang suara dari warga Al washliyah. Kompetisi inilah yang sangat memungkinkan terjadinya tarik menarik massa, pengaruh mempengaruhi kekuatan dan mengumbar janji apa yang akan dilakukan bila terpilih menjadi kepala daerah. Mengingat seeting zaman sudah berbeda, maka tidak saatnya lagi ada dari seluruh struktur kepengurusan ataupun dewan fatwa Al washliyah membuat statemen apa lagi fatwa untuk mendukung partai dan orang tertentu dalam pemilukada atau pemilu, kecuali barangkali tokoh Al Washliyah muncul sebagai calon.

Secercah Harapan

Secara organisatoris Al Washliyah bertujuan untuk mengamalkan ajaran Islam, bergerak dalam ranah sosial, dakwah dan pendidikan. Gerak dakwah mengislamkan orang-orang yang belum beragama sudah menjadi icon Al Washliyah. Meski demikian naluri politik warga Washliyah itu memang cukup kuat, dan sudah terlihat dari sejarah perjalanan Al Washliyah sendiri. Itu seharusnya menjadi kekuatan bila semua energi untuk berpolitik diarahkan kepada tujuan dan sasaran yang sama. Membangun dan mengembangkan pendidikan Islam yang lebih berkualitas melalui Al Washliyah, barangkali dapat dijadikan isu sentral. Sasaran pembangunan pendidikan setidaknya diarahkan kepada beberapa komponen seperti perbaikan kondisi gedung, ruang kelas dan kelengkapan sarana prasarana lainnya, mengatasi anak putus sekolah karena kekurangmampuan ekonomi, keterbatasan keadaan ekonomi, keterbelakangan dan kemiskinan.

Di tengah perlombaan berbagai lembaga membina dunia pendidikan, Al Washliyah sampai saat ini belum melakukan pengelolaan lembaga pendidikannya secara serius. Ratusan madrasah, maupun sekolah-sekolah umum Al Washliyah yang berada di berbagai pelosok daerah masih berjalan dalam kondisi gedung, ruang maupun sarana prasarana yang kurang memadai, kualitas out put pendidikan yang belum mempunyai prestasi optimal. Oleh karena itu bagi seluruh semua warga Washliyah, legislator dan pejabat eksekutif  yang berasal dari Al Washliyah, tidak usah menunggu apa yang mesti dilakukan oleh pengurus Al Washliyah dari semua jajaran, lakukan upaya membangun dunia pendidikan Al Washliyah.

                                                                                                                    Banten, Januari 2013
Penulis: Ketua Umum PP. GPA Periode 1997-2003

Kamis, 03 Januari 2013

Kepahlawanan Ismail Banda




Mengenang 61 Tahun Gugurnya Ismail Banda
MENGKAJI WACANA KEPAHLAWANAN ISMAIL BANDA
Oleh: Ridwan Tanjung SH, M.SI
Enam puluh satu tahun yang lalu, tepatnya tanggal 22 Desember 1951, Ismail Banda gugur di Teheran, Iran ketika menjalankan tugas negara sebagai Kuasa Usaha (perwakilan) Negara Indonesia di Afganistan. Pesawat yang membawa beliau bersama pejabat-pejabat penting bangsa lain terjatuh dihantam badai topan di Teheran.
Di organisasi Al Jam’iyatul Washliyah Ismail adalah pendiri. Belum lama ini Pengurus Besar Al Jam’iyatul Washliyah melalui WEB Majelis Sosial membuat publikasi mengusulkan tokoh Ismail Banda untuk dapat ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional. Bagai gayung bersambut, salah satu kandidat Gubernur Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013 - 2018 Chairuman Harahap, yang juga anggota Komisi II DPRRI, menyatakan untuk mendukung idea atau wacana mem-pahlawannasional-kan Ismail Banda (Harian Waspada, 1 Desember 2012)
Adalah hak setiap orang, lembaga negara, organisasi, kelompok masyarakat untuk mengajukan usul pemberian gelar calon pahlawan nasional, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Pahlawan Nasional menurut UU No. 20 Tahun 2009 ini adalah gelar yang diberikan kepada WNI atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan  dan kemajuan bangsa dan Negara Republik Indonesia.
Mengacu kepada UU No. 20 T5ahun 2009, posisi Al Washliyah sudah benar. Sebagai organisasi, sah-sah saja untuk mengusulkan salah satu pendirinya menjadi pahlawan nasional, dan bahkan itu merupakan “kewajiban moral” memprakarsai pengusulan tersebut. 

                                                              Ismail Banda berfoto bersama keluarga menjelang keberangkatan ke Afganistan

 Sekilas tentang Al Washliyah
Al Jam’iyatul Washliyah adalah organisasi sosial, pendidikan dan dakwah, didirikan di Medan pada tanggal 30 November 1930, yang cikal bakalnya berasal dari sebuah kelompok diskusi yang disebut “Debating Club” dibentuk oleh pelajar-pelajar Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT). Kumpulan pelajar ini biasa mendiskusikan dan membahas persoalan-persoalan agama Islam dan masyarakat. Ismail Banda menjadi penasehat dari debating club ini, yang diketuai oleh Abdul Rahman Syihab. Pelajar-pelajar ini rupanya melihat dan merasakan kelompok diskusi saja tidak cukup refresentatif untuk mewujudkan hasil-hasil diskusi dan pembahasan karena dalam perkembangannya mereka tidak hanya mendiskusikan soal-soal agama tapi juga soal-soal politik, soal hak bernegara dan berbangsa. Dari hasil bertukar pikiran, berdiskusi dan berdebat, lahir kesepakatan untuk memperluas kegiatan dari sekedar debating club itu.

Pada tanggal 26 Oktober 1930 dilangsungkanlah suatu pertemuan dengan yang  melibatkan ulama-ulama, guru-guru, pemimpin-pemimpin Islam di Medan. Ismail  Banda menjadi tokoh sentral yang memberikan berbagai advis dalam pertemuan tersebut. Diputuskanlah untuk membentuk sebuah perhimpunan yang bertujuan memajukan, mementingkan, dan menambah tersiarnya Agama Islam. Perhimpunan inilah akhirnya diberi nama Al Jam’iyatul Washliyah, yang artinya perhimpunan yang menghubungkan dan mempertalikan. Susunan Pengurus untuk persiapan ditetapkan Ketua Ismail Banda, Penulis M. Arsyad Thalib Lubis. Untuk pengukuhan organisasi dan memperluas susunan kepengurusan maka pada tanggal 30 November 1930 diadakan pertemuan lanjutan. Ditetapkanlah secara resmi nama organisasi Al Jam’iyatul Washliyah yang pada periode pertama susunan pengurusnya adalah Ketua I: Ismail Banda, Ketua II: Abdul Rahman Syihab, Penulis I: M. Arsyad Thalib Lubis, Penulis II: Adnan Nur, Bendahari H.M. Ja’kub dan penasehat Syech H. Muhammad Yunus (PB Al Djam’ijatul Washlijah, Peringatan Al Djamijatul Washliyah ¼ Abad, 1956). Dari sejak pelajar berdiskusi di debating club sampai mendirikan organisasi Al Jam’iyatul Washliyah, di tengah cengkeraman penjajah Belanda, menunjukkan betapa kuatnya tertanam jiwa kejuangan Ismail Banda untuk hidup merdeka.
 
Sebelum Proklamasi Kemerdekaan
Ismail Banda lahir pada tahun 1910 dari ayah bernama Banda dan ibu Sariani Aminah yang tinggal di Kampung Sei Mati, kemudian berpindah ke Petisah,Medan. Beliau belajar di Madrasah Islamiyah Tapanuli (MIT) selama 5 tahun. Pada tahun 1930, dalam usia yang relatif muda, beliau mendirikan Al Jam’iyatul Washliyah, yang menunjukkan bukti kejuangannya. Perhimpunan Al Washliyah ini pertama kali di Sumatera Utara yang menerapkan model pendidikan modern, yaitu menggunakan system klasikal. Ini memperlihatkan besarnya semangat Al Washliyah melakukan pembaharuan, hidup mandiri dan modern. Pada tahun 1932, setelah mendirikan Al Washliyah untuk pertama kali ia berangkat ke Mekkah dan berlanjut ke Mesir belajar di Al Azhar. Di Mesir selain menimba ilmu pengetahuan, sampai ia mendapat gelar MA, Ismail Banda aktif melakukan pergerakan untuk kemerdekaan. Ini ditandai dengan aktivitasnya  di Jami’ah Chairiyah (Perkumpulan Kebajikan) yang sudah didirikan oleh orang-orang Indonesia di Mesir pada tahun 1923. Jami’ah Chairiyah pada tahun 1933 berubah menjadi Perhimpunan Indonesia Raya, dan pada tahun 1938 berubah lagi menjadi Perhimpunan Pemuda Indonesia Malaya (Perpindom) dan ia menjadi ketua dari perhimpunan ini. Di Perpindom aktivitas Ismail Banda semakin kuat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Guna menyebarluaskan gagasannya Perpindom menerbitkan majalah Suara Al Azhar dan Pilihan Timur yang beredar di Indonesia, yang akhirnya dilarang pemerintah Belanda. Di Mesir ia menjadi koresponden Pewarta Deli yang banyak menyuarakan perjuangan dan pergerakan kemerdekaan. Ismail Banda bersama teman-teman pemuda/mahasiswa memainkan peran diplomatik, melakukan pendekatan dengan petinggi-petinggi Mesir dan Palestina.

Atas inisiatif M. Zen Hassan dibentuk Panitia 6. Ismail Banda yang menjadi Ketua Perpindom menjadi salah satu anggota Panitia 6, yang berkembang menjadi Panitia Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), juga sering disebut Panitia Pusat berkedudukan di Mesir.
Kekalahan Belanda terhadap Jerman pada PD ke II, berakibat terjadinya pendudukan Jepang di Indonesia, dan berdampak buruk pada Belanda. Untuk memperlihatkan pengaruhnya masih tetap kuat di Indonesia, maka pangeran Bernard (suami Ratu Juliana) datang ke Timur Tengah. Harian Le Journal Egypt (koran berbahasa Perancis) yang terbit di Kairo memberitakan bahwa rakyat Indonesia di luar negeri telah menyatakan tekad akan sama-sama rakyat Belanda “membebaskan” Indonesia dari pendudukan Jepang. Berita ini dibantah oleh pemuda, mahasiswa Indonesia di Timur Tengah dengan membuat pernyataan di suara Perpindom.

Pada waktu Jepang menunjukkan gelagat akan kalah melawan sekutu, Jepang memberi kemerdekaan kepada Indonesia pada tahun 1944. Berita ini tersiar sampai ke Timur Tengah, sehingga atas lobbi-lobbi yang dimainkan oleh Ismail Banda dan kawan-kawan berita tersebut langsung direspon Mufti Besar Palestina Amin Al Husaini, yang menyatakan selamat atas kemerdekaan Indonesia. Surat kabar Al ahram dua hari berturut-turut memberitakan kemerdekaan ini (M. Zen Hassan, Diplomasi Revoluasi Indonesia di Luar Negeri, Bulan Bintang, 1980), walaupun kita ketahui itu bukanlah ril kemerdekaan Indoensia. Tetapi gaungnya telah begitu membahana di Timur  Tengah, sampai begitu antusias disambut oleh mufti Palestina.

Pada tahun 1944 itu juga digelar kongres Pan Arab (Liga Arab) di Iskandariyah, Mesir. Ismail Banda dan M. Zen Hassan diutus menjumpai para Menteri Luar Negeri negara-negara Arab yang sedang berkongres tersebut. Mereka membawa nota tuntutan yang isinya:
a.       Pengakuan atas kemerdekaan Indonesia
b.      Jaminan persatuan Indonesia seperti sebelum pendudukan asing dengan tak dibagi-bagi
c.       Ikut serta wakil-wakil Indonesia yang sebenarnya dalam menentukan soal-soal perdamaian sesudah perang
Kata M. Zen Hassan, nota tuntutan inilah (yang dibawanya bersama Ismail Banda) yang telah membuat hubungan-hubungan kami dengan kongres dan tiga tuntutan yang kami majukan telah merintis jalan bagi hubungan dengan Liga Arab dan tuntutan-tuntutan pengakuan de facto dan de jure sesudah proklamasi.


 
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan
Setelah Perang Dunia II berakhir, dan pada tahun 1945 Soekarno - Hatta membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia, yang tentu saja tidak disukai oleh Belanda.  Sadar bahwa pernyataan proklamasi kemerdekaan tidak akan berarti apa-apa jika tidak medapat pengakuan dunia internasional, maka Ismail Banda bersama kawan-kawan di Panitia Pusat, semakin meningkatkan aktivitasnya melakukan lobi-lobbi diplomatik, tidak hanya di Mesir tetapi Negara-negara Timur Tengah. Memperoleh pengakuan inilah yang menjadi tantangan terberat setelah adanya pernyataan kemerdekaan.  Tantangan atau hambatan yang dihadapi Panitia ketika itu adalah ketidaklancaran komunikasi, sehingga tidak mudah untuk menyiarkan berita tersebut secara luas antara lain karena adanya blokade tentara sekutu yang bermaksud mengembalikan kekuasaan Belanda (Riza Sihbudi, Indonesia -Timur Tengah: Masalah dan Prospek, Gema Insani, 1997).   
Diplomasi panitia telah berhasil meyakinkan Mufti Besar Palestina Amin Al Husaini, Muhammad Ali Taher saudagar kaya Palestina. Media-media Timur Tengah gencar memberitakan kemerdekaan Indonesia. Bahkan petinggi-petinggi Mesir , Timur Tengah sengaja membentuk “Panitia Pembela Indonesia”. Dukungan semakin kuat terbukti dari diangkatnya isu Indonesia oleh perwakilan-perwakilan Negara Timur Tengah di lembaga internasional PBB dan Liga Arab. Tugas utama panitia ini adalah mengusahakan pengakuan de facto dan de jure dari Negara-negara Arab bagi kemerdekaan Indonesia. Pada bulan Oktober 1946 panitia tersebut mengadakan Konperensi di Mekkah, dan menyusun program kerja terdiri atas 1) melawan  campur tangan bersenjata Inggris dan menganggap Belanda sebagai pembonceng 2) membebaskan warga Indonesia dari perwalian kedutaan-kedutaan Belanda 3) menunjuk Kairo sebagai pusat panitia-panitia pembela di Timur Tengah. Tanggal 18 November 1946 Liga Arab memberikan rekomendasi pada anggotanya agar mengakui Indonesia sebagai Negara merdeka. Keputusan Liga Arab ini kemudian disampaikan Konjen Mesir di Bombay Abdul Mun’im kepada PM. Syahrir pada bulan Maret 1947.
Hubungan antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat Mesir terjalin cukup lama sejak awal tahun 1900-an, namun pengakuan resmi  Mesir terhadap Republik Indonesia tidaklah terjadi dengan begitu saja . Pengakuan itu melalui proses yang cukup panjang. Setidak-tidaknya terlihat dari jarak waktu antara proklamasi Indonesia 1945, dengan pengakuan Mesir yang terjadi tahun 1947 (Riza Sihbudi)
Pengakuan Liga Arab sudah menjadi modal dasar yang kuat bagi panitia untuk terus menggerakkan lobi-lobinya. Panitia ini megusulkan lagi kepada Sekretariat Liga agar:
1.      Mengirim satu perutusan resmi guna menyampaikan keputusan itu kepada pemerintah RI
2.      Berusaha membawa pembesar-pembesar resmi Indonesia ke luar negeri guna menyuarakan RI di luar negeri.
Kerja keras Panitia Pusat ini telah membuahkan hasil pada tanggal 22 Maret 1946 Mesir mengakui Panitia Pusat sebagai de facto perwakilan RI.Setelah adanya pengakuan tersebut berdatanganlah delegasi Indonesia ke Timur Tengah. Delegasi RI pertama kali ke Mesir tanggal 19 April 1947 dipimpin Menlu H. Agus Salim. Mulusnya delegasi ini menjalankan misinya tak lepas dari peran yang dilakukan oleh panitia pusat di Timur Tengah. Seperti yang dikatakan Agus Salim sendiri “Panitia-panitia Saudara-saudara telah memungkinkan RI dengan resmi keluar memulai perjoangan diplomasi di gelanggang internasional. Sokongan Negara-negara Arab telah berhasil saudara-saudara dapatkan sepenuhnya. Kami mendapati segala sesuatu yang telah selesai. Kedatangan kami seolah-olah hanya untuk menandatangani dokumen-dokumen yang telah saudara-saudara siapkan (M. Zen Hassan)  
 


Berturut-turut datang delegasi yang dipimpin Sutan Syahrir, Moh, Hatta. Pengakuan ini mungkin saja tidak terjadi atau bisa lebih lama lagi dan delegasi-delegasi itu bisa saja mengalami hambatan jika Panitia
 Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia itu tidak gigih meyakinkan petinggi-petinggi Mesir dan Timur Tengah.

Dari Yogyakarta ke Afganistan
Pertengahan tahun 1947 Ismail Banda kembali ke Tanah Air, bekerja pada Departemen Agama, di ibukota Negara waktu itu Yogyakarta. Tidak lama kemudian beliau pindah ke Departemen Luar Negeri.  Selama di Yogyakarta Ismail Banda memberi kuliah di Universitas Islam Indonesia dan mengajar di sekolah-sekolah agama, serta berperan aktif di RRI Yogyakarta memberitakan perjuangan kemerdekaan maupun RRI di Jakarta. Almarhum terkenal sebagai orang yang aktif dan rajin dalam siaran bahasan Arab di  RRI sejak masa revoluasi di Yogyakarta sampai dipindahkannya ke siaran luar negeri RRI di Jakarta. Keluarga RRI merasa kehilangan seorang keluarga, rekan yang ikhlas, ramah, riang dan santun dalam pergaulan.  Beliau juga ia bergaul akrab dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah. Tak berlebihan bila Kahar Muzakkir, sehabat beliau menyebut Ismail Banda sebagai pelopor kemerdekaan. (PB Al Djam’ijatul Washlijah, Peringatan Al Djamijatul Washliyah ¼ Abad, 1956).
Setelah pembukaan perwakilan RI di Mesir, menyusul pembukaan perwakilan RI di Saudi Arabia.  H.M. Rasyidi sebagai wakil resmi RI berangkat ke Saudi bersama Missi Haji RI yang dipimpin Ismail Banda. Untuk pertama kali, pada tanggal 17 Oktober 1948 Ismail Banda ditetapkan sebagai Kepala Perwakilan RI (setingkat kedutaan) di Saudi Arabia yang berkedudukan di Jeddah.  Ismail Banda menurut penuturan M. Zen Hassan telah berangkat ke Mesir untuk membeli peralatan Kedutaan, tetapi aksi Belanda kedua telah melambatkan pelaksanaannya (M. Zen Hassan).


 Mengubah Wacana Jadi Realita
Al Jam’iyatul Wasliyah sebagai sebuah organisasi pergerakan kemerdekaan, dan sudah membuktikan diri mengisi kemerdekaan dibangun oleh tokoh-tokoh yang ikhlas dalam perjuangan. Menjadi suatu kajian yang menarik barangkali terhadap sosok Ismail Banda adalah bahwa didalam negeri beliau telah terbukti mampu menggalang kekuatan pemuda, pelajar sampai akhirnya mendirikan organisasi Al Jam’iyatul Washliyah,  yang sampai saat ini terus berkembang, mengisi pembangunan dan reformasi Indonesia. Kertika ia belajar ke luar negeri, jiwanya tetap terpanggil untuk menggerakkan pemuda-mahasiswa dalam perjuangan merebut kemerdekaan, sampai akhirnya diangkat menjadi kuasa usaha pemerintah Indonesia untuk Afganistan. Allah berkehendak lain dalam usia relatif muda, 41 tahun, dalam menjalankan tugas Negara beliau gugur di Iran.
Sekelumit perjuangan Ismail Banda seperti diuraikan dapat menjadi referensi awal bagi upaya untuk mengubah wacana mem-pahlawannasionalkan-kan Ismail Banda menjadi realita. Kerja keras dan kerja cerdas khususnya bagi warga Al Washliyah dan masyarakat yang memahami kejuangan Ismail Banda sangat dituntut.

Perjuangan beliau telah terbukti, aturan tentang pemberian gelar, tanda jasa, dan kehormatan telah terang benderang. Upaya mengkaji peran dan kejuangan beliau terhadap perebutan dan menjaga kemerdekaan perlu digali lebih dalam lagi. Sudah enam puluh satu tahun jenazah beliau berada di perkuburan Teheran. Kita tidak tahu apakah pusara beliau masih diziarahi, masih dikenali. Sebagai salah satu tokoh yang sudah nyata perjuangannya baik di dalam negeri maupun di luar negeri bagi kemerdekaan Republik Indonesia, maka sudah selayaknyalah bangsa ini memberikan perhatian dan penghargaan terhadap beliau. Teman-teman seperjuangan beliau M. Zen Hassan, Imron Rosyadi, H.M. Jaafar Zainuddin ,Mansur Abu Makarim, Zaidan Abdul Samad, BA. Ubani, H. Hanan Abbas, Muhammad Muin, Haludin Lubis, A.B. Lubis pada tahun 1970 mendapat “Satia Lencana Kemerdekaan”  melalui Surat Keputusan Presiden No. 013/TK/1969.  
                                                                                                            Banten, 28 Desember 2012
============
Penulis adalah Ketua PP. Gerakan Pemuda Al Washliyah (GPA) periode 1997-2003
Bekerja di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta
Tinggal di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten