Jumat, 04 Januari 2013

Dinamika politik




Sekilas Dinamika Politik Al Washliyah

Oleh : Ridwan Tanjung, SH, M. Si


Sepanjang sejarah organisasi Al Washliyah, dari zaman pra kemerdekaan, awal kemerdekaan, dan masa merdeka, pengurus dan anggota-anggota Al Washliyah telah terlibat dalam kehidupan berpolitik, baik itu sebagai anggota maupun simpatisan partai. Pada pra kemerdekaan, tahun 1937 ketika berdiri Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) di Surabaya, diprakarsai oleh Hasbullah Wahab (NU), Mas Mansur (Muhammadiyah) Ahmad Dahlan  dan Wondoamiseno, yang merupakan federasi ormas-ormas Islam untuk membuka ruang yang lebih terbuka dalam memperhatikan dan melayani urusan sosial umat Islam, dan sesungguhnya juga bidang politik. Al Washliyah menjadi salah satu organisasi yang mendukung MIAI. Generasi pertama pengurus Al Washliyah seperti H. Abdul Rahman Syihab, H. Arsyad Thalib Lubis, adalah tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan yang tidak saja sebagai ulama tetapi juga menjadi tokoh politik.  Tak bisa dipungkiri karena keulamaannya dan kemampuan berpolitiknyalah Abdul Rahman Syihab dipilih menjadi ketua komisi untuk penyebaran Islam pada kongres MIAI tahun 1941 di Solo.  Salah satu butir putusan MIAI pada kongresnya itu adalah menugaskan kepada Al Washliyah supaya  mengusahakan berdirinya central zending Islam di Indonesia, dengan menyampaikan hasil-hasilnya kepada dewan MIAI. Putusan lain dari MIAI yang menampakkan perannya dalam bidang politik adalah menuntut pembebasan Haji Rasul (ayah Hamka) dari penahanan Belanda, penolakan terhadap wajib militer atau milisi, menuntut Indonesia berparlemen, dan lain sebagainya. MIAI akhirnya dibubarkan oleh penjajah Jepang , karena dianggap tidak mendukung pemerintahannya (Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, 1990)

Pada awal kemerdekaan, November 1945 berdiri Partai Masyumi. Al Washliyah secara organisasi bersama banyak organisasi Islam lainnya seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU), PSII, Persis menjadi pendukung (anderbouw) dari partai yang dianggap sebagai penerus dari MIAI. Pada saat itu Masyumi mengambil posisi sebagai satu-satunya partai Islam, karena memang didukung oleh banyak organisasi dan bahkan partai Islam yang sebelumnya ada, seperti PSII. Namun ini tidak berlangsung lama karena PSII dan NU menarik diri dari Masyumi dan menjadi partai sendiri. Suatu hal yang perlu dicatat bahwa ketika mengetahui  NU menarik diri dari Masyumi, Al Washliyah menunjukkan sikap keprihatinan dengan mengirimkan surat kawat kepada panitia kongres NU di Palembang agar tidak menarik diri dulu dan membicarakan hal itu dalam muktamar Masyumi dan mengutus Abdul Rahman Syihab menemui DPP Masyumi di Jakarta. Partai Masyumipun akhirnya dibubarkan oleh Bung Karno 

Sejak awal kemerdekaan sampai dibubarkannya, dapat dikatakan Masyumi menjadi partainya Al Washliyah. Setiap kepala orang Al Washliyah seolah ”berstempel” Masyumi. Keterikatan yang erat antara Al Washliyah dengan Masyumi menjadi lebih kentara ketika menghadapi pemilu 1955.  PB. Al Washliyah mengeluarkan fatwa agar semua anggota Al Washliyah memilih Partai masyumi. Fatwa ini tidak pernah mendapatkan tantangan, berjalan tanpa protes. Suatu situasi yang menggambarkan betapa solidnya kebersamaan di tubuh Al Washliyah.

Kalau Masyumi penerus MIAI, maka setelah Masyumi bubar, boleh dikatakan partai Islam ini dilanjutkan oleh Partai Musliman Indonesia (Parmusi). Logika ini cukup beralasan, karena bila ditelusuri MIAI adalah federasi dari berbagai organisasi Islam, sama halnya dengan Masyumi. Demikian pula ketika pembentukan awal Parmusi, nuansa ke-Masyumi-an terlihat begitu kental. Andaikata saja Soeharto melalui Alamsyah Ratuperwira Negara tidak mengintervensi, maka Muh. Roem tokoh Masyumi akan terpilih sebagai ketua umum pertama Parmusi. Nasib Parmusi sebagai partai politik juga sama dengan partai-partai Islam sebelumnya, karena harus dimerger (fusi) bersama-sama dengan Perti, PSII ke dalam PPP melalui tangan Pemerintah Orde Baru. 

Paling menarik adalah Al  Washliyah tetap menjadi peturut setia dari ”reinkarnasi” partai-partai Islam, karena Washliyah pun berafiliasi kepada Parmusi. Jaelani Naro yang tiba-tiba di-”Washliyahkan” muncul menjadi ketua umum Parmusi melalui ”kudeta” pada tahun 1970.   Suatu akrobatik politik yang sesungguhnya tak begitu menggembirakan bagi sebagian besar kalangan Al Washliyah, karena Jaelani Naro tak punya riwayat organisatoris di Al Washliyah dan terkesan dipaksakan untuk menjadi orang washliyah. Ini perlu menjadi cacatan sejarah bagi gerak dinamika politik Al Washliyah, karena di tengah ketidaksimpatikan sebagian besar kalangan Al Washliyah terhadap akrobatik politik yang dilakukan Naro, justru ini sedikit banyak memberikan stimulus bagi Pengurus PP. GPA untuk berkiprah ke Jakarta, yang sebelumnya berdomisili di Medan. Keberhasilan A. Muis A.Y (almarhum), Ketua PP. GPA menjadi anggota DPR-RI pada Pemilu 1982, saya kira merupakan dampak dari di-Washliyah-kannya Naro, karena Naro dalam waktu singkat punya kekuasaan yang tinggi di PPP untuk menempatkan siapa saja yang dia inginkan menjadi anggota DPR-RI terutama dari unsur Parmusi.

Secara historis sejak pra kemerdekaan hingga Orde Baru partisipasi politik Al Washliyah tampak berjalan linear, berkutit dalam partai-partai Islam (MIAI, Masyumi, Parmusi). Adanya partisipasi di luar itu, seperti adanya pengurus dan anggota Al Washliyah yang masuk menjadi anggota Golkar atau PDI dipandang sebagai sebuah pengingkaran terhadap mainstreams Al Washliyah. Fathi Dahlan, dari unsur PB. Al Washliyah waktu itu, dianggap keluar mainstream itu, karena dia menjadi anggota legislatif dari Golkar. Pengingkaran yang paling tragis adalah ketika muncul organisasi yang bernama ”Al Washliyah 30” yang ingin membawa Al Washliyah ke Gerbong Golkar. Tragedi ini berjalan cukup lama, yang mengakibatkan terjadi tarik menarik massa, di tubuh Al Washliyah karena adanya benturan kepentingan.

Ephoria Reformasi

Era reformasi  telah dimanfaatkan dengan antusias oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia untuk mengaktualisasikan hak, pikiran, ide, dan naluri politik melalui kotak yang bernama partai politik yang dijamin oleh konstitusi. Partai politik tumbuh dengan subur dan telah menginspirasi pengurus dan anggota-anggota Al Washliyah masuk menjadi anggota berbagai partai politik tersebut. Begitu banyak partai politik,  membuat banyak pilihan bagi pengurus dan anggota-anggota Al Washliyah untuk aktif di dalamnya. Ada yang di PPP, Golkar, PBB, PKB, PKNU, Demokrat, Hanura, Barisan Nasional, PKS, PAN dan sebagainya. Bahkan dengan mudah berganti-ganti partai, karena itu sah-sah saja dilakukan.  Fenomena gonta-ganti partai ini menjadi menarik karena dicontohkan sendiri oleh Ketua Umum PB. Al Washliyah, Azidin (1997-2010 ?). Sepertinya lima tahun sekali ganti partai, pernah di Golkar, PKB, Demokrat dan terakhir  di Partai Hanura. Demikian juga Yusuf Pardamean, pernah menjadi anggota Parmusi/PPP, kemudian PUI, Demokrat, dan di Barisan Nasional. Tipikal semacam inipun tentu masih ada selain mereka, karena seorang Azidin rasanya tidak mungkin tidak mengajak orang yang seide dengannya untuk ikut kemana dia berpolitik. Ini hanya untuk menyebut dua nama saja dari PB. Al Washliyah yang betul-betul ”menikmati” ephoria demokrasi dan juga mungkin memanfaatkan kelonggaran aturan main di Al Washliyah. Saya mengatakan kelonggaran aturan main, karena organisasi semacam Muhammadiyah dan NU tidak pernah menempatkan ketua umumnya menjadi anggota partai politik, kalau hendak berpolitik praktis mundur dulu dari ketua umum. 

Partai sesungguhnya adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai kepentingan, yang tujuan ”sucinya” untuk memberikan kesejahteraan kepada seluruh rakyat. Dalam konsep yang demikian, keterlibatan dalam partai adalah sebuah pilihan yang mulia. Terlibat dalam partai kemudian menjadi anggota legislatif yang diusung partainya atau dalam jabatan eksekutif  itu merupakan  amanah rakyat. Ketika semua calon anggota legislatif menjadikan kesejahteraan rakyat dan peningkatan kualitas pendidikan sebagai sasaran utama yang akan diwujudkannya, maka strategi yang digunakan untuk meraih dukungan jangan sampai justru mengakibatkan benturan-benturan di berbagai lapisan masyarakat. Benturan dalam masyarakat umum apa lagi dalam komunitas masyarakat tertentu yang sudah punya label sendiri (seperti komunitas Al Washliyah), maka partai sesungguhnya tidak mempunyai keterikatan untuk menyelesaikan benturan tersebut.

Ini juga yang harus kita katakan kepada para pengurus dan semua warga Al Washliyah, yang telah menentukan pilihannya, apa itu di dalam partai yang sama, apa lagi di partai yang berbeda. Energi politik warga Al Washliyah akan terkuras pada pesta demokrasi melalui pemilukada (pemilihan umum kepala daerah) yang berlangsung di berbagai daerah, termasuk dalam waktu dekat pemilihan Gubernur Sumatera Utara (basis Al Washliyah). Heterogenitas sikap warga Al Washliyah dalam pilihan partai adalah sebuah kenyataan, yang menandakan bahwa saat ini sudah sangat terbuka peluang untuk bermain dan menyalurkan aspirasi politik melalui partai politik apa saja maupun memilih calon Kepala Daerah yang tidak melalui jalur partai. Komunitas Al Washliyah tersebar di berbagai daerah Indonesia, bahkan sampai di pelosok-pelosok wilayah terutama di Sumatera. Kandidat kepala daerah yang akan berkompetisi akan berupaya mendulang suara dari warga Al washliyah. Kompetisi inilah yang sangat memungkinkan terjadinya tarik menarik massa, pengaruh mempengaruhi kekuatan dan mengumbar janji apa yang akan dilakukan bila terpilih menjadi kepala daerah. Mengingat seeting zaman sudah berbeda, maka tidak saatnya lagi ada dari seluruh struktur kepengurusan ataupun dewan fatwa Al washliyah membuat statemen apa lagi fatwa untuk mendukung partai dan orang tertentu dalam pemilukada atau pemilu, kecuali barangkali tokoh Al Washliyah muncul sebagai calon.

Secercah Harapan

Secara organisatoris Al Washliyah bertujuan untuk mengamalkan ajaran Islam, bergerak dalam ranah sosial, dakwah dan pendidikan. Gerak dakwah mengislamkan orang-orang yang belum beragama sudah menjadi icon Al Washliyah. Meski demikian naluri politik warga Washliyah itu memang cukup kuat, dan sudah terlihat dari sejarah perjalanan Al Washliyah sendiri. Itu seharusnya menjadi kekuatan bila semua energi untuk berpolitik diarahkan kepada tujuan dan sasaran yang sama. Membangun dan mengembangkan pendidikan Islam yang lebih berkualitas melalui Al Washliyah, barangkali dapat dijadikan isu sentral. Sasaran pembangunan pendidikan setidaknya diarahkan kepada beberapa komponen seperti perbaikan kondisi gedung, ruang kelas dan kelengkapan sarana prasarana lainnya, mengatasi anak putus sekolah karena kekurangmampuan ekonomi, keterbatasan keadaan ekonomi, keterbelakangan dan kemiskinan.

Di tengah perlombaan berbagai lembaga membina dunia pendidikan, Al Washliyah sampai saat ini belum melakukan pengelolaan lembaga pendidikannya secara serius. Ratusan madrasah, maupun sekolah-sekolah umum Al Washliyah yang berada di berbagai pelosok daerah masih berjalan dalam kondisi gedung, ruang maupun sarana prasarana yang kurang memadai, kualitas out put pendidikan yang belum mempunyai prestasi optimal. Oleh karena itu bagi seluruh semua warga Washliyah, legislator dan pejabat eksekutif  yang berasal dari Al Washliyah, tidak usah menunggu apa yang mesti dilakukan oleh pengurus Al Washliyah dari semua jajaran, lakukan upaya membangun dunia pendidikan Al Washliyah.

                                                                                                                    Banten, Januari 2013
Penulis: Ketua Umum PP. GPA Periode 1997-2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar