Sekilas Dinamika
Politik Al Washliyah
Oleh : Ridwan
Tanjung, SH, M. Si
Sepanjang sejarah organisasi Al Washliyah, dari zaman pra
kemerdekaan, awal kemerdekaan, dan masa merdeka, pengurus dan anggota-anggota
Al Washliyah telah terlibat dalam kehidupan berpolitik, baik itu sebagai
anggota maupun simpatisan partai. Pada pra kemerdekaan, tahun 1937 ketika berdiri
Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) di Surabaya, diprakarsai oleh Hasbullah
Wahab (NU), Mas Mansur (Muhammadiyah) Ahmad Dahlan dan Wondoamiseno, yang merupakan federasi
ormas-ormas Islam untuk membuka ruang yang lebih terbuka dalam memperhatikan
dan melayani urusan sosial umat Islam, dan sesungguhnya juga bidang politik. Al
Washliyah menjadi salah satu organisasi yang mendukung MIAI. Generasi pertama
pengurus Al Washliyah seperti H. Abdul Rahman Syihab, H. Arsyad Thalib Lubis,
adalah tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan yang tidak saja sebagai ulama tetapi
juga menjadi tokoh politik. Tak bisa
dipungkiri karena keulamaannya dan kemampuan berpolitiknyalah Abdul Rahman
Syihab dipilih menjadi ketua komisi untuk penyebaran Islam pada kongres MIAI
tahun 1941 di Solo. Salah satu butir
putusan MIAI pada kongresnya itu adalah menugaskan kepada Al Washliyah
supaya mengusahakan berdirinya central
zending Islam di Indonesia, dengan menyampaikan hasil-hasilnya kepada dewan
MIAI. Putusan lain dari MIAI yang menampakkan perannya dalam bidang politik
adalah menuntut pembebasan Haji Rasul (ayah Hamka) dari penahanan Belanda,
penolakan terhadap wajib militer atau milisi, menuntut Indonesia berparlemen,
dan lain sebagainya. MIAI akhirnya dibubarkan oleh penjajah Jepang , karena
dianggap tidak mendukung pemerintahannya (Deliar
Noer, Gerakan Modern Islam di
Indonesia 1900-1942, LP3ES, 1990)
Pada awal kemerdekaan, November 1945 berdiri Partai Masyumi. Al
Washliyah secara organisasi bersama banyak organisasi Islam lainnya seperti
Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU), PSII, Persis menjadi pendukung (anderbouw)
dari partai yang dianggap sebagai penerus dari MIAI. Pada saat itu Masyumi
mengambil posisi sebagai satu-satunya partai Islam, karena memang didukung oleh
banyak organisasi dan bahkan partai Islam yang sebelumnya ada, seperti PSII.
Namun ini tidak berlangsung lama karena PSII dan NU menarik diri dari Masyumi
dan menjadi partai sendiri. Suatu hal yang perlu dicatat bahwa ketika
mengetahui NU menarik diri dari Masyumi,
Al Washliyah menunjukkan sikap keprihatinan dengan mengirimkan surat kawat
kepada panitia kongres NU di Palembang agar tidak menarik diri dulu dan
membicarakan hal itu dalam muktamar Masyumi dan mengutus Abdul Rahman Syihab
menemui DPP Masyumi di Jakarta. Partai Masyumipun akhirnya dibubarkan oleh Bung
Karno
Sejak awal kemerdekaan sampai dibubarkannya, dapat dikatakan Masyumi
menjadi partainya Al Washliyah. Setiap kepala orang Al Washliyah seolah
”berstempel” Masyumi. Keterikatan yang erat antara Al Washliyah dengan Masyumi
menjadi lebih kentara ketika menghadapi pemilu 1955. PB. Al Washliyah mengeluarkan fatwa agar semua
anggota Al Washliyah memilih Partai masyumi. Fatwa ini tidak pernah mendapatkan
tantangan, berjalan tanpa protes. Suatu situasi yang menggambarkan betapa
solidnya kebersamaan di tubuh Al Washliyah.
Kalau Masyumi penerus MIAI, maka setelah Masyumi bubar, boleh
dikatakan partai Islam ini dilanjutkan oleh Partai Musliman Indonesia
(Parmusi). Logika ini cukup beralasan, karena bila ditelusuri MIAI adalah
federasi dari berbagai organisasi Islam, sama halnya dengan Masyumi. Demikian
pula ketika pembentukan awal Parmusi, nuansa ke-Masyumi-an terlihat begitu
kental. Andaikata saja Soeharto melalui Alamsyah Ratuperwira Negara tidak
mengintervensi, maka Muh. Roem tokoh Masyumi akan terpilih sebagai ketua umum
pertama Parmusi. Nasib Parmusi sebagai partai politik juga sama dengan
partai-partai Islam sebelumnya, karena harus dimerger (fusi) bersama-sama
dengan Perti, PSII ke dalam PPP melalui tangan Pemerintah Orde Baru.
Paling menarik adalah Al
Washliyah tetap menjadi peturut setia dari ”reinkarnasi” partai-partai
Islam, karena Washliyah pun berafiliasi kepada Parmusi. Jaelani Naro yang
tiba-tiba di-”Washliyahkan” muncul menjadi ketua umum Parmusi melalui ”kudeta”
pada tahun 1970. Suatu akrobatik
politik yang sesungguhnya tak begitu menggembirakan bagi sebagian besar
kalangan Al Washliyah, karena Jaelani Naro tak punya riwayat organisatoris di
Al Washliyah dan terkesan dipaksakan untuk menjadi orang washliyah. Ini perlu
menjadi cacatan sejarah bagi gerak dinamika politik Al Washliyah, karena di
tengah ketidaksimpatikan sebagian besar kalangan Al Washliyah terhadap
akrobatik politik yang dilakukan Naro, justru ini sedikit banyak memberikan
stimulus bagi Pengurus PP. GPA untuk berkiprah ke Jakarta, yang sebelumnya
berdomisili di Medan. Keberhasilan A. Muis A.Y (almarhum), Ketua PP. GPA
menjadi anggota DPR-RI pada Pemilu 1982, saya kira merupakan dampak dari
di-Washliyah-kannya Naro, karena Naro dalam waktu singkat punya kekuasaan yang
tinggi di PPP untuk menempatkan siapa saja yang dia inginkan menjadi anggota
DPR-RI terutama dari unsur Parmusi.
Secara historis sejak pra kemerdekaan hingga Orde Baru partisipasi
politik Al Washliyah tampak berjalan linear, berkutit dalam partai-partai Islam
(MIAI, Masyumi, Parmusi). Adanya partisipasi di luar itu, seperti adanya
pengurus dan anggota Al Washliyah yang masuk menjadi anggota Golkar atau PDI
dipandang sebagai sebuah pengingkaran terhadap mainstreams Al Washliyah. Fathi
Dahlan, dari unsur PB. Al Washliyah waktu itu, dianggap keluar mainstream itu,
karena dia menjadi anggota legislatif dari Golkar. Pengingkaran yang paling
tragis adalah ketika muncul organisasi yang bernama ”Al Washliyah 30” yang
ingin membawa Al Washliyah ke Gerbong Golkar. Tragedi ini berjalan cukup lama,
yang mengakibatkan terjadi tarik menarik massa, di tubuh Al Washliyah karena
adanya benturan kepentingan.
Ephoria Reformasi
Era reformasi telah
dimanfaatkan dengan antusias oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia untuk
mengaktualisasikan hak, pikiran, ide, dan naluri politik melalui kotak yang
bernama partai politik yang dijamin oleh konstitusi. Partai politik tumbuh
dengan subur dan telah menginspirasi pengurus dan anggota-anggota Al Washliyah
masuk menjadi anggota berbagai partai politik tersebut. Begitu banyak partai
politik, membuat banyak pilihan bagi
pengurus dan anggota-anggota Al Washliyah untuk aktif di dalamnya. Ada yang di
PPP, Golkar, PBB, PKB, PKNU, Demokrat, Hanura, Barisan Nasional, PKS, PAN dan
sebagainya. Bahkan dengan mudah berganti-ganti partai, karena itu sah-sah saja
dilakukan. Fenomena gonta-ganti partai ini menjadi menarik karena dicontohkan
sendiri oleh Ketua Umum PB. Al Washliyah, Azidin (1997-2010 ?). Sepertinya lima
tahun sekali ganti partai, pernah di Golkar, PKB, Demokrat dan terakhir di Partai Hanura. Demikian juga Yusuf
Pardamean, pernah menjadi anggota Parmusi/PPP, kemudian PUI, Demokrat, dan di
Barisan Nasional. Tipikal semacam inipun tentu
masih ada selain mereka, karena seorang Azidin rasanya tidak mungkin tidak
mengajak orang yang seide dengannya untuk ikut kemana dia berpolitik. Ini hanya
untuk menyebut dua nama saja dari PB. Al Washliyah yang betul-betul ”menikmati”
ephoria demokrasi dan juga mungkin memanfaatkan kelonggaran aturan main di Al
Washliyah. Saya mengatakan kelonggaran aturan main, karena organisasi semacam
Muhammadiyah dan NU tidak pernah menempatkan ketua umumnya menjadi anggota
partai politik, kalau hendak berpolitik praktis mundur dulu dari ketua
umum.
Partai sesungguhnya adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai
kepentingan, yang tujuan ”sucinya” untuk memberikan kesejahteraan kepada
seluruh rakyat. Dalam konsep yang demikian, keterlibatan dalam partai adalah
sebuah pilihan yang mulia. Terlibat dalam partai kemudian menjadi anggota legislatif
yang diusung partainya atau dalam jabatan eksekutif itu merupakan
amanah rakyat. Ketika semua calon anggota legislatif menjadikan
kesejahteraan rakyat dan peningkatan kualitas
pendidikan sebagai sasaran utama yang akan
diwujudkannya, maka strategi yang digunakan untuk meraih dukungan jangan sampai
justru mengakibatkan benturan-benturan di berbagai lapisan masyarakat. Benturan dalam masyarakat
umum apa lagi dalam komunitas masyarakat tertentu yang sudah punya label
sendiri (seperti komunitas Al Washliyah), maka partai sesungguhnya tidak
mempunyai keterikatan untuk menyelesaikan benturan tersebut.
Ini juga yang harus kita katakan kepada para pengurus dan semua warga Al Washliyah, yang telah menentukan
pilihannya, apa itu di dalam partai yang sama, apa lagi di partai yang berbeda. Energi politik
warga Al Washliyah akan terkuras pada pesta demokrasi melalui pemilukada
(pemilihan umum kepala daerah) yang berlangsung di berbagai daerah, termasuk
dalam waktu dekat pemilihan Gubernur Sumatera Utara (basis Al Washliyah).
Heterogenitas sikap warga Al Washliyah dalam pilihan partai adalah sebuah
kenyataan, yang menandakan bahwa saat ini sudah sangat terbuka peluang untuk
bermain dan menyalurkan aspirasi politik melalui partai politik apa saja maupun
memilih calon Kepala Daerah yang tidak melalui jalur partai. Komunitas Al
Washliyah tersebar di berbagai daerah Indonesia, bahkan sampai di pelosok-pelosok
wilayah terutama di Sumatera. Kandidat kepala
daerah yang akan berkompetisi akan berupaya mendulang suara dari warga Al
washliyah. Kompetisi inilah yang sangat memungkinkan terjadinya tarik menarik
massa, pengaruh mempengaruhi kekuatan dan mengumbar janji apa yang akan
dilakukan bila terpilih menjadi kepala daerah. Mengingat seeting zaman sudah berbeda, maka tidak saatnya lagi ada
dari seluruh struktur kepengurusan ataupun dewan fatwa Al washliyah membuat
statemen apa lagi fatwa untuk mendukung partai dan orang tertentu dalam
pemilukada atau pemilu, kecuali barangkali tokoh Al Washliyah muncul sebagai
calon.
Secercah Harapan
Secara organisatoris Al Washliyah bertujuan untuk mengamalkan ajaran
Islam, bergerak dalam ranah sosial, dakwah dan pendidikan. Gerak dakwah
mengislamkan orang-orang yang belum beragama sudah menjadi icon Al
Washliyah. Meski demikian naluri politik warga Washliyah itu memang cukup kuat, dan sudah
terlihat dari sejarah perjalanan Al Washliyah sendiri. Itu seharusnya menjadi
kekuatan bila semua energi untuk berpolitik diarahkan kepada tujuan dan sasaran
yang sama. Membangun dan mengembangkan pendidikan Islam yang lebih berkualitas
melalui Al Washliyah, barangkali dapat dijadikan isu sentral. Sasaran
pembangunan pendidikan setidaknya diarahkan kepada beberapa komponen seperti
perbaikan kondisi gedung, ruang kelas dan kelengkapan sarana prasarana lainnya,
mengatasi anak putus sekolah karena kekurangmampuan ekonomi, keterbatasan
keadaan ekonomi, keterbelakangan dan kemiskinan.
Di tengah perlombaan berbagai lembaga membina dunia pendidikan, Al
Washliyah sampai saat ini belum melakukan pengelolaan lembaga pendidikannya
secara serius. Ratusan madrasah, maupun sekolah-sekolah umum Al Washliyah yang
berada di berbagai pelosok daerah masih berjalan dalam kondisi gedung, ruang
maupun sarana prasarana yang kurang memadai, kualitas out put pendidikan yang
belum mempunyai prestasi optimal. Oleh karena itu bagi seluruh semua warga
Washliyah, legislator dan pejabat eksekutif yang berasal dari Al Washliyah, tidak usah
menunggu apa yang mesti dilakukan oleh pengurus Al Washliyah dari semua
jajaran, lakukan upaya membangun dunia pendidikan Al Washliyah.
Banten,
Januari 2013
Penulis: Ketua Umum PP. GPA Periode 1997-2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar